PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM
PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA (ANTARA LIBERALISASI DAN PERLINDUNGAN
KEPENTINGAN NASIONAL)
Dwi Martini[*]
Fakultas Hukum
Universitas Mataram
ABSTRACT
Globalization has brought
the world into a borderless situation including the matter of International
trade. Within the circumstances countries all over the globe agreed to form the
World Trade Organization aimed to regulate International trade activities which
regulation undirectly also bind the foreign direct investment activities of WTO
members. “non discrimination” is one of its main principle that obligate every
member state to extend the National treatment that is an equal treatment given
to either foreign or domestic investor by host country. Problem formulation of
this research as follows how the form of foreign direct investment conditions
contrary against the National Treatment principle and how government committed
to the obligation of National Treatment principle in Indonesian Foreign direct
investment activities?
This research used a
judicial approach to solve the problem mentioned above which is a normative
approach in digging the problem based on literatures and law and regulations
related to problems being researched.
Foreign direct investment
(FDI) conditions that contrary against National Treatment principle divided
into 2 (two) classification, Local content requirement and trade balancing
policy. Local content requirement is condition to buy or obligation to use
local product in the production activities of a foreign direct investment
company. Trade balancing policy is condition to buy or to use imported product
measured by the number or value of local product imported by foreign direct
investment company.
Since 1996 Indonesia has
stated policies required to take over the obligation to implement the National
Treatment in Indonesia’s FDI activities starting by reporting notification of
national policy that potentially against TRIMs, in 2007 government has
legalized the Investment law Number 25 of 2007 which clearly mentioning an
equal treatment among domestic and foreign direct investor replaced former law
separately concerning foreign direct investment and domestic investment.
Keywords : non-discrimination,
Investment regulation
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini tak ada Negara yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
berhubungan dengan Negara lain baik melalui pertukaran modal maupun sumberdaya.
Kondisi ini mencetuskan istilah “kampung global” untuk mengilustrasikan dunia
selayaknya sebuah kampung yang dihuni oleh Negara-negara yang dapat dengan
mudahnya menjalin komunikasi dan kerjasama tanpa terhalang oleh sekat-sekat
teritorial. bahkan para Nasionalis
menilai peran Negara sebagai pengambil kebijakan sudah tidak lagi penting
mengingat bahwa keputusan terkait perekonomian nasional tidak lagi tergantung
kepada pemerintah suatu Negara melainkan semakin tergantung pada negosiasi dan
kesepakatan Internasional.
Globalisasi ekonomi sejatinya hanya bertumpu pada 3 (tiga) hal yaitu (1)
internasionalisasi dan liberalisasi perdagangan dan keuangan; (2) dominasi
perusahaan transnasional; (3) peranan dan intervensi yang semakin kuat dari 3
organisasi ekonomi dunia yaitu International
Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan World
Trade Organization (WTO) (Hilmar Farid, http://www.geocities.com) sehingga
arus barang dan jasa serta tenaga ahli dapat melintas batas Negara tanpa
hambatan. WTO sendiri merupakan organisasi yang memiliki titik taut paling
banyak dengan perdagangan Internasional sebagaimana tertuang dalam mukadimah
WTO yang memuat maksud dan tujuan dari pendirian organisasi tersebut (Agreement Establishing The World Trade
Organization, 2004 : preambule) :
“bahwa hubungan-hubungan
perdagangan dan kegiatan ekonomi Negara-negara anggota harus dilaksanakan
dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja
sepenuhnya, peningkatan penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan
barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai
dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara
pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing
Negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam
mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah
positif untuk menjamin agar supaya Negara berkembang, teristimewa yang paling
terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan Internasional sesuai
dengan kebutuhan pembangunan ekonominya”
Menyadari akan arti penting keikutsertaan dalam percaturan politik dan
ekonomi global Pemerintah Indonesia
telah memutuskan untuk mengambil bagian langkah awalnya adalah dengan meratifikasi
persetujuan pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 yang berarti
bahwa Indonesia memiliki keterikatan untuk untuk melaksanakan seluruh hasil
kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan Uruguay yakni Kesepakatan
mengenai kebijakan pembatasan Investasi yang terkait dengan perdagangan atau Trade Related Investment Measures (TRIMs),
kesepakatan mengenai aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan
Perdagangan atau Trade Related Aspects of
Intelectual Property Rights (TRIPs) dan Kesepakatan Umum mengenai
Perdagangan Jasa Atau General Agreement
on Trade in Service (GATS).
Peraturan penanaman modal asing
sesungguhnya tidak secara tegas termuat dalam perjanjian WTO baik dalam Agreement on TRIMs maupun GATS namun
secara eksplisit muncul dalam rumusan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang
telah dinegosiasikan dalam putaran Uruguay sejak tahun 1947. khususnya
terkait prinsip non diskriminasi yang meliputi Most Favoured Nation (MFN) dan
National Treatment Principle (NT). MFN menghendaki pemberian perlakuan sama
kepada Negara yang satu dengan Negara yang lain oleh Negara penerima penanaman
modal sedangkan prinsip NT mensyaratkan adanya perlakuan sama antara produk
Negara tuan rumah dengan produk serupa dari luar negeri (Muhammad sood, 2005 :
25). Dalam prinsip yang terakhir terdapat dua kepentingan yang berhadap-hadapan
secara langsung yaitu kepentingan nasional untuk melindungi produk dalam negeri
dari persaingan dengan produk luar negeri dan kepentingan internasional yang
menghendaki persaingan bebas dengan kesempatan yang sama.
Dengan kata lain prinsip National Treatment melarang
peraturan-peraturan diskriminatif sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap
produk dalam negeri. Termasuk didalamnya
tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini juga
berlaku pula terhadap Perundang-undangan, pengaturan dan
persyaratan-persyaratan hukum yang dapat mempengaruhi penjualan, pembelian,
pengangkutan distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri dan
pemberian perlindungan terhadap
proteksionisme sebagai upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif
(Mahmul siregar, 2005: 68)
Bagi Negara-negara berkembang dan terbelakang kebijakan pembatasan
terhadap penanaman modal asing masih diperlukan untuk melindungi kepentingan
nasional mereka dari persaingan yang tidak seimbang antara industri domestik
dengan modal dan sumberdaya terbatas melawan perusahaan-perusahaan
multinasional yang jelas-jelas jauh lebih perkasa dalam bidang permodalan
maupun tehnologi. Persaingan bebas murni hanya dapat diterapkan apabila para
pemainnya berada dalam kondisi yang setara. Sebagaimana diungkapkan oleh Martin
Khor Kok Peng bahwa “putaran Uruguay
adalah usaha yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang akan
memberikan kepada mereka kebebasan mutlak serta berbagai hak untuk beroperasi
sekehendak hati mereka, tanpa ketakutan sedikitpun terhadap munculnya para
pesaing baru, hampir di semua tempat di seluruh dunia”. (Martin Khor Kok Peng,
1993: 42)
Sebagai Negara yang berdaulat secara hukum maupun politik Indonesia sejak
awal pendirianya telah menentukan bentuk perekonomian Indonesia yang disusun bersama
berdasar atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33
Undang-undang Dasar 1945. MPR menegaskan bahwa perekonomian Nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemadirian serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: “bagaimanakah bentuk persyaratan-persyaratan Penanaman Modal asing
yang bertentangan dengan prinsip National
Treatment?” dan “bagaimanakah pemerintah Indonesia menyikapi kewajiban
menerapkan Prinsip National Treatment
dalam Penanaman modal asing di Indonesia?
II.
PEMBAHASAN
A.
Persyaratan-persyaratan
PMA yang bertentangan dengan prinsip national
treatment.
Agreement on TRIMs
pada Article 2 pada prinsip melarang
semua persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten dengan article III.4 GATT 1994 tentang National Treatment yang berbunyi sebagai
berikut:
“The product of any
contracting party imported into the territory of any other contracting party
shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products
of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting
their internal sale, purchase, transportation distribution of use”
Dengan alasan tidak adanya suatu kesepakatan tentang bentuk pasti dari
persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten dengan Article III.4
sebagaimana tertulis diatas maka Dirjen GATT memberikan illustrative list yang
berisi gambaran mengenai tindakan persyaratan penanaman modal yang dilarang
tersebut yaitu:
a. persyaratan
untuk membeli atau kewajiban untuk menggunakan produk-produk lokal oleh
perusahaan (local content requirement)
atau
b. pembelian
atau penggunaan produk impor yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai produk
lokal yang diekspor (trade balancing
policy). (Huala Adolf, 2004: 109).
1.
Local content Requirement
Larangan untuk memberlakukan local
content requirement atau persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan
penanaman modal tercantum dalam Paragraph 1.a Illustrative list Agreement on TRIMs. Disebutkan bahwa terdapat dua
bentuk kegiatan yang dapat dikelompokkan sebagai tindakan pemberlakuan
persyaratan kandungan lokal yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan
produk-produk buatan dalam Negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau
mewajibkan investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam
hal pengadaan barang-barang impor yang harus dilakukan dengan mempergunakan
jasa importir dalam negeri atau menutp kesempatan perusahaan modal asing untuk
melakukan impor secara langsung.
Kebijakan local content
requirement dilarang karena kebijakan tersebut merupakan tindakan diskriminatif
terhadap produk impor. Pemberlakuan kewajiban untuk membeli atau mempergunakan
barang-barang lokal oleh investor menandakan bahwa Negara tuan rumah (Host Country) telah memberikan perlakuan
yang lebih baik (preferential treatment)
kepada produk lokal dibandingkan produk impor dan dengan demikian Pemerintah
Negara tuan rumah telah merintangi akses pasar bagi produk yang sama dari luar
Negeri.
Contoh penerapan Local content
requirement dapat dilihat dari tindakan Pemerintah kanada yang
memberlakukan kewajiban bagi investor asing untuk membeli atau menggunakan
produk buatan dalam negeri yang merupakan syarat untuk dapat berinvestasi di
wilayah Kanada. Selain itu pemerintah kanada juga mewajibkan para investor yang
mempergunakan produk impor dalam kegiatan produksinya untuk membeli produk-produk
impor dari importir Kanada. Panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara
yang dilaporkan oleh Pemerintah Amerika Serikat ini menyatakan bahwa
tindakan-tindakan Pemerintah Kanada tersebut merupakan suatu pelanggaran
Terhadap Pasal III.4 GATT.
Indonesia pun pernah
diadukan ke Panel penyelesaian sengketa GATT terkait program “Mobil Nasional”
sebagaimana termuat dalam Keppres Nomor 42 Tahun 1996 dan peraturan pendukung
lainnya. Negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menganggap
kebijakan tersebut melanggar Perjanjian TRIMs khususnya terkait dengan larangan
persyaratan local content requirement
dengan argumen bahwa kebijakan tersebut memperkenankan kendaraan lengkap
diproduksi di luar negeri kemudian diimpor ke dalam negeri dengan tariff
selayaknya “mobil nasional”.
Keringanan pajak yang diterima “mobil nasional” dari Korea ini dianggap
telah melanggar prinsip tersebut karena produk otomotif dari Negara lain
seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropa dijual dengan harga lebih tinggi
akibat pengenaan pajak yang jauh lebih tinggi. Dengan alasan tersebut
Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia melancarkan klaim
bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah melanggar Pasal I dan Pasal III GATT,
Pasal 2 perjanjian TRIMs, Pasal 3, 6 dan 28 perjanjian SCM (Subsidi dan Imbalan
Bea Masuk serta Pasal 3, 20 dan 65 Persetujuan TRIPs (ibid: 147).
Dalam putusannya Panel menyatakan bahwa persyaratan kandungan lokal (local content requirement) dalam program
mobil nasional 1993 dan 1996 dan telah merugikan negara-negara Eropa karena bertentangan
dengan Pasal 2 perjanjian TRIMs dan article
27.4 Agreement on subsidies and
contorveiling measures sementara tuntutan lainnya tidak dikabulkan oleh
Panel. Putusan ini mewajibkan Pemerintah Indonesia mencabut semua Keputusan
Presiden beserta Peraturan lainnya yang terkait dengan persyaratan kandungan
lokal.
Meskipun mendapat pembelaan dari India
dan Korea namun Pemerintah Indonesia
tidak mengajukan banding atas putusan Panel tersebut. Yang patut dicatat adalah
ketika kasus “mobil nasional” tersebut disidangkan Indonesia
sedang mengalami krisis moneter dan sedang membutuhkan bantuan dana dari donor
Internasional khususnya IMF, untuk mendapatkan bantuan dana tersebut Indonesia
diharuskan untuk meyesuaikan peraturan Penanaman modalnya yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip WTO, salah satunya terkait larangan local content requirement dalam program “mobil nasional” (ibid:
148). Sehingga nyaris tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Indonesia kecuali menerima
keputusan Panel dan menghentikan program yang dimaksud.
2.
Trade Balancing Policy
Ketentuan mengenai Trade Balancing
Policy diatur dalam Paragraph 1.(b) Agreement
on TRIMs. Yang dimaksud dengan Trade
Balancing Policy adalah persyaratan pembatasan pembelian atau penggunaan
produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan dengan volume atau nilai
produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing. Untuk dapat
dikatakan suatu tindakan Trade Balancing
Policy, suatu kebijakan harus mengandung unsur:
a.
penggunaan atau pembelian barang impor oleh perusahaan modal
asing hanya dibenarkan jika perusahaan
tersebut telah melakukan impor produk yang menggunakan importir negeri;
b.
jumlah barang impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan
PMA terbatas sampai jumlah tertentu, pembatasan tersebut ditetapkan berdasarkan
volume atau nilai produk lokal yang telah diekspor oleh perusahaan modal asing
yang bersangkutan (Op.Cit Mahmul Siregar : 18).
Dari kedua unsur diatas dapat
dilihat bahwa Trade Balancing Policy
merupakan hambatan bagi investor asing untuk melakukan kegiatan impor secara
langsung. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya diperbolehkan membeli barang
impor yang sudah berada di pasar domestik
host country dan di impor oleh perusahaan domestik.
Dalam kebijakan yang demikian
terdapat diskriminasi terhadap barang impor yang dikaitkan dengan kewajiban
ekspor barang buatan dalam negeri sehingga lebih mengutamakan produk lokal
dibanding produk impor. Oleh sebab itu dalam bentuk apapun Trade Balancing Policy dilarang karena bertentangan dengan Article III.4 GATT.
Negara yang pernah menerapkan Trade Balancing Policy adalah India
dengan mewajibkan investor untuk menandatangani MoU ( Memorandum of Understanding) dengan kementerian perdagangan India
yang menyatakan bahwa hak investor untuk menggunakan produk impor dibatasi oleh
kuota penggunaan kandungan lokal yang telah dipenuhi oleh investor tersebut (ibid). kebijakan ini diputuskan
melanggar Article III.4 GATT Jo Paragraph
1. (b) oleh panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara tersebut.
Pada tahun 1995 Brazil pernah
mengeluarkan kebijakan investasi yang memadukan local content requirement dan trade
balancing policy melalui pemberian insentif investasi dalam bentuk
penurunan bea masuk hingga 90 persen untuk impor barang modal dan penurunan bea
masuk berkisar antara 40 sampai 80 persen untuk impor bahan baku dan komponen
otomotif yang diberikan kepada para investor yang memenuhi persyaratan
Pemerintah Brazil serta penurunan bea masuk hingga 50 persen juga diberikan
kepada produsen otomotif yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan seperti
penggunaan kandungan lokal sebesar 60 persen dari total pemakaian bahan baku,
menyeimbangkan perbandingan penggunaan barang mentah impor dengan produk buatan
dalam negeri termasuk menyeimbangkan penggunaan barang modal impor dengan
buatan dalam negeri, impor otomotif tidak diperkenankan melebihi jumlah yang
telah di ekspor dan impor komponen tidak lebih dari dua pertiga bagian dari
keseluruhan komponen yang diekspor.
Suatu persyaratan perdagangan dapat
digolongkan sebagai trade balancing
policy apabila barang-barang impor sudah memasuki pasar domestik Negara
tuan rumah karena sebelum masuk ke pasar domestik Negara diskriminasi
diskriminasi internal tidak mungkin
terjadi. Ini perlu diperhatikan karena persyaratan kebijakan keseimbangan
perdagangan yang dikenakan sebelum barang-barang impor memasuki pasar domestik
Negara tuan rumah tidak melanggar Article
III.4 GATT melainkan merupakan pelanggran terhadap Article XI GATT tentang General
Prohibition on quantitive restriction.
3.
Pengecualian-pengecualian
dalam penerapan prinsip National
Treatment.
Pada dasarnya GATT tidak melarang perlindungan bagi industri lokal,
namun perlindungan yang diberikan harus berupa tariff dan bukan melalui tindakan-tindakan perdagangan lain
(non-tarif), misalnya berupa kuota atau peraturan perpajakan Nasional yang
dimaksudkan untuk memberi perlindungan.
Tariff yang akan dibebankan terhadap suatu produk harus dilakukan pengikatan
tingkat tariff terlebih dahulu (binding) dan didaftarkan dalam suatu tariff schedule yang merupakan bagian
integral dari general agreement
(Hatta, 2006 : 90).
Ketentuan pada Pasal III.4 tentang National
Treatment ini tetap memperoleh pengecualian seperti yang diatur dalam Article III.4 poin 8 (a) yang berbunyi
“ketentuan-ketentuan artikel III ini tidak berlaku terhadap Undang-undang,
regulasi dan persyaratan yang menyangkut pembelian pemerintah untuk
kebutuhannya sendiri dan tidak untuk dijual ulang sebagai masukan bagi produksi
barang bagi penjualan komersil” ; poin 8 (b) ketentuan-ketentuan artikel ini
tidak menghalangi pemberian subsidi yang eksklusif bagi produsen dalam negeri,
termasuk pembayaran yang berasal dari hasil pajak-pajak dari pungutan internal
yang dikenakan secara konsisten dengan ketentuan-ketentuan artikel ini dan
subsidi yang timbul melalui pembelian pemerintah dari produk-produk domestik.
B.
Sikap Pemerintah
Indonesia terkait keharusan menerapkan Prinsip National Treatment dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia
Penerapan prinsip National
Treatment dalam penanaman modal asing di Indonesia di satu sisi telah
menghilangkan kesempatan Indonesia untuk mempromosikan industri dalam Negeri
melalui kebijakan local content
requirement dan trade balancing
policy, hal tersebut dicatat sebagai sebuah kerugian karena kesepakatan ini
telah membuka paksa pasar Indonesia bagi masuknya pesaing-pesaing dari Negara
yang lebih kuat (Martin Manurung, http//www.indoprogress.com.). Melalui
ketentuan ini batas-batas Negara tidak lagi menjadi halangan bagi lalu lintas
perdagangan karena barang dan jasa akan bebas diperjual belikan di mana saja,
keseluruhan negara anggota telah bersatu menjadi satu pasar bebas dan terbuka.
Di sisi lain politik luar negeri Indonesia
yang bebas aktif mengisyaratkan Indonesia
untuk berperan serta secara aktif mewujudkan iklim kondusif bagi persaingan
bebas dalam perekonomian global dan mengambil manfaat dari kebijakan-kebijakan
non diskriminasi tersebut bagi kepentingan nasional.
Selain pertimbangan akses pasar dan penurunan tariff, prinsip National Treatment berpotensi untuk
mengurangi konflik antar pelaku PMA yaitu Pemerintah Negara tuan tumah,
Pemerintah Negara asal dan Penanam modal karena prinsip ini akan memberikan
jaminan keamanan terutama bagi penanam modal, sedangkan bagi Negara penerima
modal prinsip ini memungkinkan mereka memberlakukan aturan yang sama
mengikatnya terhadap Investor asing dan domestik. Sehingga apabila Investor
asing melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di Indonesia maka mereka mereka akan
dijerat dengan hukum yang berlaku tanpa adanya keistimewaan tertentu.
Setelah perundingan TRIMs selesai dibahas, pemerintah Republik Indonesia
langsung mengambil langkah-langkah untuk menyesuaikan diri dengan isi persetujuan
sesuai dengan persetujuan Indonesia harus melakukan notifikasi mengenai TRIMs
yang bertentangan dengan GATT setidaknya 90 hari sejak pembentukan WTO,
menghapusnya dalam 5 tahun dan selama masa transisi tidak diperkenankan
mengubah atau menambah aturan-aturan investasi yang dapat menyebabkan distorsi
perdagangan (Persetujuan mengenai TRIMs, 1995). Berikut ini akan diuraikan
beberapa regulasi dan deregulasi terkait dengan prinsip national treatment.
Sebagai langkah awal Pemerintah melakukan notifikasi terhadap segala kebijakan
perdagangan yang berpotensi bertentangan dengan TRIMs sebagaimana di sampaikan
oleh pemerintah Indonesia
kepada WTO dalam “Pemberitahuan-pemberitahuan mengenai TRIMs” tertanggal 23 Mei
1995 (DEPLU Indonesia, 1996 : 96) memuat tentang daftar peraturan-peraturan
nasional yang mengandung persyaratan kandungan lokal.
Disamping itu Indonesia
secara aktif mengikuti perkembangan kerangka investasi multilateral untuk
kemudian menyiapkan langkah-langkah dalam rangka memajukan ekonomi nasional
ditengah tekanan dari Negara maju seperti kerangka Investasi multilateral yang
diajukan oleh masyarakat Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Memahami usulan
tersebut sangat penting dalam rangka mengantisipasi permasalahan yang dapat
ditimbulkan dari usulan tersebut. Untuk memperkuat posisi tawarnya Indonesia
turut juga memanfaatkan kerjasama sengan Negara-negara tetangga seperti APEC
dan AFTA, kerjasama ini memuat kerangka Investasi regional.
Bentuk regulasi dan deregulasi yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam
terkait prinsip National Treatment
diantaranya adalah sebagai berikut. Dikeluarkannya Keppres Nomor 20 tahun 1998
tentang pencabutan Keppres Nomor 42 tahun 1996 tentang pembangunan mobil
nasional. Dikeluarkannya Keppres ini lebih merupakan reaksi Pemerintah Indonesia
atas keputusan Panel yang memeriksa perkara mobil nasional yang diajukan oleh
masyarakat eropa dan Amerika serikat sehingga dengan demikian maka persyaratan
kandungan lokal pada sektor otomotif tidak berlaku lagi. Selanjutnya Pemerintah
mengeluarkan paket kebijaksanaan otomotif tahun 1999, paket kebijakan ini
sebagai tindak lanjut dari Letter of
Intent antara IMF dengan Pemerintah
Indonesia ( Op.Cit Huala Adolf : 148) yang menghendaki dihapuskannya subsidi
yang diberikan dalam program mobil nasional yang termuat dalam kebijakan
otomotif tahun 1996 dan subsidi pajak yang dikaitkan dengan tingkat kandungan
lokal seperti termuat dalam kebijakan otomotif tahun 1933.
Terkait dengan bidang usaha yang boleh dimasuki oleh penanaman modal
asing, pemerintah Indonesia
melakukan penyesuaian terhadap daftar negatif Investasi (DNI) melalui keputusan
Presiden Nomor 96 tahun 2000. Keppres ini memuat 4 klasifikasi bidang usaha
yaitu, (1) bidang usaha yang tertutup mutlak bagi penanaman modal; (2) bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal yang dalam modal perusahaan ada
pemilikan WNA atau badan hukum asing; (3) bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan patungan antara modal asing dengn modal dalam negeri dan (4) bidang
usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu (www.bappenas.go.id)
Melalui Keppres ini ketentuan kandungan lokal sebagai syarat untuk
berinvestasi di Indonesia dihapus. DNI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat
dirubah sesuai kebutuhan dan perkembangan keadaan. Dalam DNI tahun 2009 (http://www.analisadaily.com) ada beberapa
daftar negatif yang masuk menjadi positif dengan tujuan untuk memberi nuansa
investasi yang lebih positif namun sampai bulan November 2009 Pemerintah belum
merilis DNI yang dimaksud.
Puncaknya adalah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang penanaman modal yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967
tentang penanaman modal asing dan Undang-undang Nomor 6 tahun 1968 tentang
penanaman modal karena selama 30 tahun PMA dan PMDN diatur terpisah dalam dua
Undang-undang yang berbeda. Pembedaan pengaturan ini secara otomatis
mengakibatkan pembedaan perlakuan terhadap PMA dan PMDN. Prinsip national treatment menjadi salah satu
semangat bagi perubahan Undang-undang tersebut diatas sebagaimana tertuang
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Penanaman Modal yang meyatakan bahwa
“Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk (a). mendorong
terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk
penguatan daya saing perekonomian nasional; dan (b). mempercepat peningkatan
penanaman modal. Kemudian pada ayat (2) disebutkan “dalam menetapkan kebijakan
dasar sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), pemerintah memberi perlakuan sama
bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional”.
Dalam Undang-undang ini bidang-bidang usaha yang terbuka dan tertutup
lebih akomodatif terhadap PMA, Pasal 12 ayat (1) Undang-undang penanaman modal
menyatakan “semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman
modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan
terbuka dengan persyaratan”. Pasal ini mengisyaratkan adanya persamaan
perlakuan dalam pemberlakuan bidang-bidang usaha yang terbuka bagi PMA dan PMDN
bahkan penyebutannya telah disamakan dengan istilah “penanaman modal”.
Dengan regulasi dan deregulasi diatas diharapkan pertumbuhan ekonomi
yang didorong investasi di sektor riil dapat memberi kontribusi signifikan bagi
pembangunan namun tidak cukup sampai pengesahan Undang-undang penanaman modal
saja karena pelaksanaannya akan terkait dengan Penyelesaian RUU Perpajakan
serta aturan-aturan pelaksanaan lainnya.
Bagi Indonesia
kebijakan di bidang Penanaman Modal Asing bukan semata-mata mengenai
perdagangan Internasional saja melainkan merupakan hal yang berhubungan dengan
pengaturan ekonomi secara makro mengingat PMA berkaitan langsung dengan
sumberdaya-sumberdaya nasional yang ada. Hal ini berbeda dengan pembatasan yang
dikehendaki oleh Negara maju yaitu pembatasan terhadap ruang gerak pemerintah
suatu Negara dalam menerapkan kebijakan investasi. Mereka menghendaki adanya
suatu rezim investasi multilateral yang berlaku untuk seluruh tindakan Negara
yang berkaitan dengan penanaman modal. Artinya Negara maju menginginkan
pembatasan kedaulatan setiap Negara untuk menentukan Peraturan Penanaman modal
asing mereka.
Tidak dapat dipungkiri banyak pihak menganggap bahwa prinsip National Treatment justru telah semakin
melapangkan jalan Multi National
Corporation (MNC) untuk mencengkeramkan kuku-kukunya di segala penjuru
dunia karena sebuah Negara harus memberikan perlakuan sama terhadap pengusaha
dalam negeri dengan pengusaha dari Negara anggota lainnya. Dengan semakin mudahnya akses pasar ini persaingan akan semakin tajam.
Ditambah dengan posisi tawar yang sama dikhawatirkan dalam prakteknya akan
berlaku hukum alam siapa yang lebih kuat dia yang menang. Indonesia yang
menganut sistem ekonomi terbuka dituntut untuk lebih siap agar dapat mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari keanggotaan Indonesia di WTO.
Realisasi
Prinsip National Treatment dalam
Penanaman Modal Asing di Indonesia sesungguhnya tidak menutup semua kemungkinan
bagi Indonesia untuk memajukan Industri Nasional karena pada dasarnya GATT
tidak melarang proteksi terhadap terhadap industri nasional selama proteksi
yang diberikan hanya melalui tariff. Dengan demikian jika dibutuhkan, Negara
dimungkinkan memperoleh pemasukan dari pos tariff dengan cara peningkatan
tariff maksimal sampai 40 persen. Keuntungan lain yang masih bisa diperoleh
adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk nelakukan penurunan tariff
sektor industri karena tingkat tariff yang diterapkan jauh lebih rendah dari
ketentuan yang dibenarkan GATT ( Mahmul Siregar, http//library.usu.ac.id.pdf,
2005 : 43). Tujuan dari peraturan ini
adalah agar ruang lingkup proteksi menjadi lebih transparan dengan poin
terpenting yaitu tingkat tariff harus ditentukan melalui mekanisme pengikatan
tariff yang dirundingkan antara Negara-negara anggota GATT sesuai dengan pengaturan pasal II GATT yang mengatur
tentang “hal-hal yang menyangkut dengan konsesi dan komitmen” dimana tariff yang
telah diikat tetap dapat dirundingkan kembali sehingga pengikatann tariff ini
dimaksudkan untuk menghindari praktek menaikkan tariff dengan persyaratan
kompensasi.
Terkait dengan kedaulatan Negara dalam menentukan
kebijakan ekonomi PBB memberikan jaminan untuk melindungi kepentingan nasional
masing-masing sebagaimana tertuang dalam resolusi Majelis Umum PBB No.3281
(XXIX) tanggal 12 Desember 1974 tentang Charter
of economic rights and duties of States. Pada Article berbunyi “every state has and shall freely exercise full permanent sovereignity,
including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources
and economic activities”.
Sejalan dengan resolusi umum PBB di atas Soenaryati Hartono memandang
bahwa peranan Negara dalam urusan-urusan ekonomi masih sangat penting mengingat
masalah ekonomi dewasa ini bukan lagi merupakan urusan privatum atau keperdataan semata melainkan telah menjadi urusan publicum yang membenarkan Negara untuk
ikut campur lewat hukum administrasi (Soenaryati Hartono, 1988: 27). Hal ini
tidak hanya berlaku bagi Negara-negara berkembang saja, konsep ini juga berlaku
bagi Negara-negara maju yang menganut konsep welfare state.
Patut dimuat dalam tulisan ini jawaban Pemerintah
RI atas pertanyaan fraksi-fraksi DPR RI
dalam rapat Pleno Komisi I DPR RI tanggal 7 Oktober 1994 sebagai berikut:
“ada satu hal yang perlu
kita sesuaikan yaitu di bidang kewajiban Investasi, dimana kita mengikatkan
diri untuk menyesuaikan ketentuan Penanaman Modal yang tidak lagi membolehkan
diwajibkannya penggunaan komponen-komponen dalam negeri dalam berbagai hak
industri dan ini dengan sadar kita telah ikut menadatangani demi kemajuan
industri kita di dalam negeri. Akibatnya, misalnya adalah di bidang industri
otomotif tidak lagi akan menggunakan komponen dalam negeri kecuali harga buatan
dalam negeri itu sendiri sudah cukup murah untuk dipakai dalam kegiatan
investasi asing. namun sebaliknya dengan menggunakan komitmen itu kita masih
ada jaga-jaga, dalam arti bahwa bidang akses pasar mengenai barang industri
kita masih bisa memberikan perlindungan tariff kepada komponen dalam negeri…”
Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa Pemerintah menyimpan harapan
besar bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO khususnya penerapan prinsip National Treatment akan membawa dampak
positif terutama berupa akses pasar yang lebih luas dan penurunan tariff meski
tidak berpengaruh langsung terhadap perekonomian namun membuka peluang
Indonesia untuk meningkatkan neraca pembayaran dengan memasarkan produk-produk
dalam Negeri ke berbagai Negara dan menghasilkan devisa yang lebih tinggi.
Disamping itu juga akan menjadi motivasi tersendiri bagi pengusaha dalam negeri
untuk meningkatkan kemampuannya dengan meningkatkan mutu produk ataupun kinerja
perusahaan karena mereka dikondisikan untuk bersaing langsung dengan perusahaan-perusahaan
lain dari seluruh dunia untuk menghasilkan produk terbaik yang diterima
konsumen dan pada akhirnya mendapatkan keuntungan terbesar.
III.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Persyaratan-persyaratan Penanaman Modal Asing yang bertentangan dengan
prinsip National Treatment adalah:
a. Local content requirement adalah persyaratan
kandungan lokal dalam kegiatan Penanaman Modal Asing. sebagaimana tercantum
dalam Paragraph . Terdapat 2 (dua) bentuk kegiatan yang dapat dikelompokkan
sebagai tindakan local content
requirement yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan
produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau presentase tertentu dan/
atau mewajibkan investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnnya
dalam hal pengadaan barang- barang impor
b. Trade balancing policy adalah
persyaratan pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah
tertentu yang dikaitkan dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor
oleh perusahaan penanaman modal asing. Untuk dapat digolongkan sebagai tindakan
trade balancing policy suatu
kebijakan harus mengandung unsur (a) penggunaan atau pembelian barang impor
oleh perusahaan modal asing hanya dibenarkan jika perusahaan tersebut telah
melakukan impor produk yang menggunakan produk dalam negeri, (b) jumlah barang
impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan PMA dibatasi berdasarkan volume
atau nilai produk lokal yang tekah diekspor oleh perusahaan asing yang
bersangkutan.
2. Dalam
menyikapi Internalisasi Prinsip National
Treatment dalam penanaman modal asing di Indonesia Pemerintah telah
mengambil langkah-langkah regulasi dan deregulasi diawali dengan Dikeluarkannya
Keppres Nomor 20 tahun 1998 tentang pencabutan Keppres Nomor 42 tahun 1996
tentang pembangunan mobil nasional. Sebagai reaksi terhadap putusan panel
penyelesaian sengketa GATT yang memutus Pemerintah Indonesia telah melanggar ketentuan
mengenai larangan persyaratan kandungan lokal dalam kebijakan “mobil nasional”.
Yang terbaru adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal yang memuat ketentuan mengenai pemberian perlakuan sama
terhadap Penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Regulasi dan
deregulasi yang diambil oleh pemerintah Indonesia dimaksudkan untuk megambil
manfaat sebesar-sebesarnya dari persaingan bebas seperti akses pasar yang lebih
luas dan penurunan tariff serta menghindarkan dampak buruk yang ditimbulkan
seperti berkurangya kedaulatan Negara karena kebijakan penanaman modal lebih
ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf,
Huala, “Hukum Perdagangan Internasional”,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
2004.
Departemen
Luar Negeri Indonesia, “Pembentukan Wilayah Penanaman Modal ASEAN
dan Implpikasinya bagi Indonesia”,
Jakarta. 1996.
Farid, Hilmar, “Globalisasi Ekonomi.
Apa artinya buat buruh?”, dalam http://geocities.com
Hartono, Soenaryati, “Hukum Ekonomi Pembangunan”,
Bina Cipta, Bandung. 1988.
Hatta, “Perdagangan Internasional
dalam Sistem GATT-WTO”, Refika Aditama, Bandung. 2006
Manurung, Martin, “Investasi Asing
antara Mitos dan Realita”, dalam http://www.indoprogress.blogspot.com
Peng, Kok, Khor, Martin, “Imperialisme
Ekonomi Baru”, PT Gramedia pustaka utama- Khonpalindo, Jakarta. 1993.
Siregar, Mahmul, “Perdagangan
Internasional dan Penanaman Modal”, Universitas Sumatera Utara. Sekolah
Pasca Sarjana. 2005
Siregar Mahmul, “Kesepakatan Perdagangan
yang terkait dengan persyaratan Penanaman Modal,”, dalam
http//library.usu.ac.id.pdf
Indonesia, Undang-undang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
General Agreement on Tariff and
Trade
(GATT) 1994
Agreement on Trade Related
Investment Measures (TRIMs), 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar