Rabu, 05 Desember 2012

PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA (ANTARA LIBERALISASI DAN PERLINDUNGAN KEPENTINGAN NASIONAL)



PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA (ANTARA LIBERALISASI DAN PERLINDUNGAN
KEPENTINGAN NASIONAL)

Dwi Martini[*]
Fakultas Hukum Universitas Mataram


ABSTRACT

Globalization has brought the world into a borderless situation including the matter of International trade. Within the circumstances countries all over the globe agreed to form the World Trade Organization aimed to regulate International trade activities which regulation undirectly also bind the foreign direct investment activities of WTO members. “non discrimination” is one of its main principle that obligate every member state to extend the National treatment that is an equal treatment given to either foreign or domestic investor by host country. Problem formulation of this research as follows how the form of foreign direct investment conditions contrary against the National Treatment principle and how government committed to the obligation of National Treatment principle in Indonesian Foreign direct investment activities?
This research used a judicial approach to solve the problem mentioned above which is a normative approach in digging the problem based on literatures and law and regulations related to problems being researched.
Foreign direct investment (FDI) conditions that contrary against National Treatment principle divided into 2 (two) classification, Local content requirement and trade balancing policy. Local content requirement is condition to buy or obligation to use local product in the production activities of a foreign direct investment company. Trade balancing policy is condition to buy or to use imported product measured by the number or value of local product imported by foreign direct investment company.
Since 1996 Indonesia has stated policies required to take over the obligation to implement the National Treatment in Indonesia’s FDI activities starting by reporting notification of national policy that potentially against TRIMs, in 2007 government has legalized the Investment law Number 25 of 2007 which clearly mentioning an equal treatment among domestic and foreign direct investor replaced former law separately concerning foreign direct investment and domestic investment.

Keywords : non-discrimination, Investment regulation

I.        PENDAHULUAN
Dewasa ini tak ada Negara yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan Negara lain baik melalui pertukaran modal maupun sumberdaya. Kondisi ini mencetuskan istilah “kampung global” untuk mengilustrasikan dunia selayaknya sebuah kampung yang dihuni oleh Negara-negara yang dapat dengan mudahnya menjalin komunikasi dan kerjasama tanpa terhalang oleh sekat-sekat teritorial.  bahkan para Nasionalis menilai peran Negara sebagai pengambil kebijakan sudah tidak lagi penting mengingat bahwa keputusan terkait perekonomian nasional tidak lagi tergantung kepada pemerintah suatu Negara melainkan semakin tergantung pada negosiasi dan kesepakatan Internasional.
Globalisasi ekonomi sejatinya hanya bertumpu pada 3 (tiga) hal yaitu (1) internasionalisasi dan liberalisasi perdagangan dan keuangan; (2) dominasi perusahaan transnasional; (3) peranan dan intervensi yang semakin kuat dari 3 organisasi ekonomi dunia yaitu International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO) (Hilmar Farid, http://www.geocities.com) sehingga arus barang dan jasa serta tenaga ahli dapat melintas batas Negara tanpa hambatan. WTO sendiri merupakan organisasi yang memiliki titik taut paling banyak dengan perdagangan Internasional sebagaimana tertuang dalam mukadimah WTO yang memuat maksud dan tujuan dari pendirian organisasi tersebut (Agreement Establishing The World Trade Organization, 2004 : preambule) :
“bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi Negara-negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan  tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing Negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar supaya Negara berkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan Internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya”

Menyadari akan arti penting keikutsertaan dalam percaturan politik dan ekonomi global Pemerintah Indonesia  telah memutuskan untuk mengambil bagian langkah awalnya adalah dengan meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 yang berarti bahwa Indonesia memiliki keterikatan untuk untuk melaksanakan seluruh hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan Uruguay yakni Kesepakatan mengenai kebijakan pembatasan Investasi yang terkait dengan perdagangan atau Trade Related Investment Measures (TRIMs), kesepakatan mengenai aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan atau Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs) dan Kesepakatan Umum mengenai Perdagangan Jasa Atau General Agreement on Trade in Service (GATS).
            Peraturan penanaman modal asing sesungguhnya tidak secara tegas termuat dalam perjanjian WTO baik dalam Agreement on TRIMs maupun GATS namun secara eksplisit muncul dalam rumusan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang telah dinegosiasikan dalam putaran Uruguay sejak tahun 1947. khususnya terkait prinsip non diskriminasi yang meliputi Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment Principle (NT). MFN menghendaki pemberian perlakuan sama kepada Negara yang satu dengan Negara yang lain oleh Negara penerima penanaman modal sedangkan prinsip NT mensyaratkan adanya perlakuan sama antara produk Negara tuan rumah dengan produk serupa dari luar negeri (Muhammad sood, 2005 : 25). Dalam prinsip yang terakhir terdapat dua kepentingan yang berhadap-hadapan secara langsung yaitu kepentingan nasional untuk melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk luar negeri dan kepentingan internasional yang menghendaki persaingan bebas dengan kesempatan yang sama.
            Dengan kata lain prinsip National Treatment melarang peraturan-peraturan diskriminatif sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk dalam negeri.  Termasuk didalamnya tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini juga berlaku pula terhadap Perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum yang dapat mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri dan pemberian  perlindungan terhadap proteksionisme sebagai upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif (Mahmul siregar, 2005: 68)
Bagi Negara-negara berkembang dan terbelakang kebijakan pembatasan terhadap penanaman modal asing masih diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional mereka dari persaingan yang tidak seimbang antara industri domestik dengan modal dan sumberdaya terbatas melawan perusahaan-perusahaan multinasional yang jelas-jelas jauh lebih perkasa dalam bidang permodalan maupun tehnologi. Persaingan bebas murni hanya dapat diterapkan apabila para pemainnya berada dalam kondisi yang setara. Sebagaimana diungkapkan oleh Martin Khor Kok Peng bahwa “putaran Uruguay adalah usaha yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang akan memberikan kepada mereka kebebasan mutlak serta berbagai hak untuk beroperasi sekehendak hati mereka, tanpa ketakutan sedikitpun terhadap munculnya para pesaing baru, hampir di semua tempat di seluruh dunia”. (Martin Khor Kok Peng, 1993: 42)
Sebagai Negara yang berdaulat secara hukum maupun politik Indonesia sejak awal pendirianya telah menentukan bentuk perekonomian Indonesia yang disusun bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. MPR menegaskan bahwa perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemadirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “bagaimanakah bentuk persyaratan-persyaratan Penanaman Modal asing yang bertentangan dengan prinsip National Treatment?” dan “bagaimanakah pemerintah Indonesia menyikapi kewajiban menerapkan Prinsip National Treatment dalam Penanaman modal asing di Indonesia?

II.      PEMBAHASAN
A.      Persyaratan-persyaratan PMA yang bertentangan dengan prinsip national treatment.

Agreement on TRIMs pada Article 2 pada prinsip melarang semua persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten dengan article III.4 GATT 1994 tentang National Treatment yang berbunyi sebagai berikut:
“The product of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation distribution of use
Dengan alasan tidak adanya suatu kesepakatan tentang bentuk pasti dari persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten dengan Article III.4 sebagaimana tertulis diatas maka Dirjen GATT memberikan illustrative list yang berisi gambaran mengenai tindakan persyaratan penanaman modal yang dilarang tersebut yaitu:
a.      persyaratan untuk membeli atau kewajiban untuk menggunakan produk-produk lokal oleh perusahaan (local content requirement) atau
b.      pembelian atau penggunaan produk impor yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai produk lokal yang diekspor (trade balancing policy). (Huala Adolf, 2004: 109).
1.      Local content Requirement
Larangan untuk memberlakukan local content requirement atau persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan penanaman modal tercantum dalam Paragraph 1.a Illustrative list Agreement on TRIMs. Disebutkan bahwa terdapat dua bentuk kegiatan yang dapat dikelompokkan sebagai tindakan pemberlakuan persyaratan kandungan lokal yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam Negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau mewajibkan investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri atau menutp kesempatan perusahaan modal asing untuk melakukan impor secara langsung.
Kebijakan local content requirement dilarang karena kebijakan tersebut merupakan tindakan diskriminatif terhadap produk impor. Pemberlakuan kewajiban untuk membeli atau mempergunakan barang-barang lokal oleh investor menandakan bahwa Negara tuan rumah (Host Country) telah memberikan perlakuan yang lebih baik (preferential treatment) kepada produk lokal dibandingkan produk impor dan dengan demikian Pemerintah Negara tuan rumah telah merintangi akses pasar bagi produk yang sama dari luar Negeri.
Contoh penerapan Local content requirement dapat dilihat dari tindakan Pemerintah kanada yang memberlakukan kewajiban bagi investor asing untuk membeli atau menggunakan produk buatan dalam negeri yang merupakan syarat untuk dapat berinvestasi di wilayah Kanada. Selain itu pemerintah kanada juga mewajibkan para investor yang mempergunakan produk impor dalam kegiatan produksinya untuk membeli produk-produk impor dari importir Kanada. Panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara yang dilaporkan oleh Pemerintah Amerika Serikat ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan Pemerintah Kanada tersebut merupakan suatu pelanggaran Terhadap Pasal III.4 GATT.
Indonesia pun pernah diadukan ke Panel penyelesaian sengketa GATT terkait program “Mobil Nasional” sebagaimana termuat dalam Keppres Nomor 42 Tahun 1996 dan peraturan pendukung lainnya. Negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menganggap kebijakan tersebut melanggar Perjanjian TRIMs khususnya terkait dengan larangan persyaratan local content requirement dengan argumen bahwa kebijakan tersebut memperkenankan kendaraan lengkap diproduksi di luar negeri kemudian diimpor ke dalam negeri dengan tariff selayaknya “mobil nasional”.
Keringanan pajak yang diterima “mobil nasional” dari Korea ini dianggap telah melanggar prinsip tersebut karena produk otomotif dari Negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropa dijual dengan harga lebih tinggi akibat pengenaan pajak yang jauh lebih tinggi. Dengan alasan tersebut Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia melancarkan klaim bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah melanggar Pasal I dan Pasal III GATT, Pasal 2 perjanjian TRIMs, Pasal 3, 6 dan 28 perjanjian SCM (Subsidi dan Imbalan Bea Masuk serta Pasal 3, 20 dan 65 Persetujuan TRIPs (ibid: 147).
Dalam putusannya Panel menyatakan bahwa persyaratan kandungan lokal (local content requirement) dalam program mobil nasional 1993 dan 1996 dan telah merugikan negara-negara Eropa karena bertentangan dengan Pasal 2 perjanjian TRIMs dan article 27.4 Agreement on subsidies and contorveiling measures sementara tuntutan lainnya tidak dikabulkan oleh Panel. Putusan ini mewajibkan Pemerintah Indonesia mencabut semua Keputusan Presiden beserta Peraturan lainnya yang terkait dengan persyaratan kandungan lokal.
Meskipun mendapat pembelaan dari India dan Korea namun Pemerintah Indonesia tidak mengajukan banding atas putusan Panel tersebut. Yang patut dicatat adalah ketika kasus “mobil nasional” tersebut disidangkan Indonesia sedang mengalami krisis moneter dan sedang membutuhkan bantuan dana dari donor Internasional khususnya IMF, untuk mendapatkan bantuan dana tersebut Indonesia diharuskan untuk meyesuaikan peraturan Penanaman modalnya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip WTO, salah satunya terkait larangan local content requirement dalam program “mobil nasional” (ibid: 148). Sehingga nyaris tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Indonesia kecuali menerima keputusan Panel dan menghentikan program yang dimaksud.

2.      Trade Balancing Policy
Ketentuan mengenai Trade Balancing Policy diatur dalam Paragraph 1.(b) Agreement on TRIMs. Yang dimaksud dengan Trade Balancing Policy adalah persyaratan pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing. Untuk dapat dikatakan suatu tindakan Trade Balancing Policy, suatu kebijakan harus mengandung unsur:
a.      penggunaan atau pembelian barang impor oleh perusahaan modal asing hanya  dibenarkan jika perusahaan tersebut telah melakukan impor produk yang menggunakan importir negeri;
b.      jumlah barang impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan PMA terbatas sampai jumlah tertentu, pembatasan tersebut ditetapkan berdasarkan volume atau nilai produk lokal yang telah diekspor oleh perusahaan modal asing yang bersangkutan (Op.Cit Mahmul Siregar : 18).

            Dari kedua unsur diatas dapat dilihat bahwa Trade Balancing Policy merupakan hambatan bagi investor asing untuk melakukan kegiatan impor secara langsung. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya diperbolehkan membeli barang impor yang sudah berada di pasar domestik host country dan di impor oleh perusahaan domestik.
            Dalam kebijakan yang demikian terdapat diskriminasi terhadap barang impor yang dikaitkan dengan kewajiban ekspor barang buatan dalam negeri sehingga lebih mengutamakan produk lokal dibanding produk impor. Oleh sebab itu dalam bentuk apapun Trade Balancing Policy dilarang karena bertentangan dengan Article III.4 GATT.
            Negara yang pernah menerapkan Trade Balancing Policy adalah India dengan mewajibkan investor untuk menandatangani MoU ( Memorandum of Understanding) dengan kementerian perdagangan India yang menyatakan bahwa hak investor untuk menggunakan produk impor dibatasi oleh kuota penggunaan kandungan lokal yang telah dipenuhi oleh investor tersebut (ibid). kebijakan ini diputuskan melanggar Article III.4 GATT Jo Paragraph 1. (b) oleh panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara tersebut.
            Pada tahun 1995 Brazil pernah mengeluarkan kebijakan investasi yang memadukan local content requirement dan trade balancing policy melalui pemberian insentif investasi dalam bentuk penurunan bea masuk hingga 90 persen untuk impor barang modal dan penurunan bea masuk berkisar antara 40 sampai 80 persen untuk impor bahan baku dan komponen otomotif yang diberikan kepada para investor yang memenuhi persyaratan Pemerintah Brazil serta penurunan bea masuk hingga 50 persen juga diberikan kepada produsen otomotif yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan seperti penggunaan kandungan lokal sebesar 60 persen dari total pemakaian bahan baku, menyeimbangkan perbandingan penggunaan barang mentah impor dengan produk buatan dalam negeri termasuk menyeimbangkan penggunaan barang modal impor dengan buatan dalam negeri, impor otomotif tidak diperkenankan melebihi jumlah yang telah di ekspor dan impor komponen tidak lebih dari dua pertiga bagian dari keseluruhan komponen yang diekspor.
            Suatu persyaratan perdagangan dapat digolongkan sebagai trade balancing policy apabila barang-barang impor sudah memasuki pasar domestik Negara tuan rumah karena sebelum masuk ke pasar domestik Negara diskriminasi diskriminasi internal tidak mungkin terjadi. Ini perlu diperhatikan karena persyaratan kebijakan keseimbangan perdagangan yang dikenakan sebelum barang-barang impor memasuki pasar domestik Negara tuan rumah tidak melanggar Article III.4 GATT melainkan merupakan pelanggran terhadap Article XI GATT tentang General Prohibition on quantitive restriction.

3.      Pengecualian-pengecualian dalam penerapan prinsip National Treatment.
Pada dasarnya GATT tidak melarang perlindungan bagi industri lokal, namun perlindungan yang diberikan harus berupa tariff dan bukan melalui tindakan-tindakan perdagangan lain (non-tarif), misalnya berupa kuota atau peraturan perpajakan Nasional yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan. Tariff yang akan dibebankan terhadap suatu produk harus dilakukan pengikatan tingkat tariff terlebih dahulu (binding) dan didaftarkan dalam suatu tariff schedule yang merupakan bagian integral dari general agreement (Hatta, 2006 : 90).
Ketentuan pada Pasal III.4 tentang National Treatment ini tetap memperoleh pengecualian seperti yang diatur dalam Article III.4 poin 8 (a) yang berbunyi “ketentuan-ketentuan artikel III ini tidak berlaku terhadap Undang-undang, regulasi dan persyaratan yang menyangkut pembelian pemerintah untuk kebutuhannya sendiri dan tidak untuk dijual ulang sebagai masukan bagi produksi barang bagi penjualan komersil” ; poin 8 (b) ketentuan-ketentuan artikel ini tidak menghalangi pemberian subsidi yang eksklusif bagi produsen dalam negeri, termasuk pembayaran yang berasal dari hasil pajak-pajak dari pungutan internal yang dikenakan secara konsisten dengan ketentuan-ketentuan artikel ini dan subsidi yang timbul melalui pembelian pemerintah dari produk-produk domestik.

B.     Sikap Pemerintah Indonesia terkait keharusan menerapkan Prinsip National Treatment dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia

Penerapan prinsip National Treatment dalam penanaman modal asing di Indonesia di satu sisi telah menghilangkan kesempatan Indonesia untuk mempromosikan industri dalam Negeri melalui kebijakan local content requirement dan trade balancing policy, hal tersebut dicatat sebagai sebuah kerugian karena kesepakatan ini telah membuka paksa pasar Indonesia bagi masuknya pesaing-pesaing dari Negara yang lebih kuat (Martin Manurung, http//www.indoprogress.com.). Melalui ketentuan ini batas-batas Negara tidak lagi menjadi halangan bagi lalu lintas perdagangan karena barang dan jasa akan bebas diperjual belikan di mana saja, keseluruhan negara anggota telah bersatu menjadi satu pasar bebas dan terbuka. Di sisi lain politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif mengisyaratkan Indonesia untuk berperan serta secara aktif mewujudkan iklim kondusif bagi persaingan bebas dalam perekonomian global dan mengambil manfaat dari kebijakan-kebijakan non diskriminasi tersebut bagi kepentingan nasional.
Selain pertimbangan akses pasar dan penurunan tariff, prinsip National Treatment berpotensi untuk mengurangi konflik antar pelaku PMA yaitu Pemerintah Negara tuan tumah, Pemerintah Negara asal dan Penanam modal karena prinsip ini akan memberikan jaminan keamanan terutama bagi penanam modal, sedangkan bagi Negara penerima modal prinsip ini memungkinkan mereka memberlakukan aturan yang sama mengikatnya terhadap Investor asing dan domestik. Sehingga apabila Investor asing melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di Indonesia maka mereka mereka akan dijerat dengan hukum yang berlaku tanpa adanya keistimewaan tertentu.
Setelah perundingan TRIMs selesai dibahas, pemerintah Republik Indonesia langsung mengambil langkah-langkah untuk menyesuaikan diri dengan isi persetujuan sesuai dengan persetujuan Indonesia harus melakukan notifikasi mengenai TRIMs yang bertentangan dengan GATT setidaknya 90 hari sejak pembentukan WTO, menghapusnya dalam 5 tahun dan selama masa transisi tidak diperkenankan mengubah atau menambah aturan-aturan investasi yang dapat menyebabkan distorsi perdagangan (Persetujuan mengenai TRIMs, 1995). Berikut ini akan diuraikan beberapa regulasi dan deregulasi terkait dengan prinsip national treatment.
Sebagai langkah awal Pemerintah melakukan notifikasi terhadap segala kebijakan perdagangan yang berpotensi bertentangan dengan TRIMs sebagaimana di sampaikan oleh pemerintah Indonesia kepada WTO dalam “Pemberitahuan-pemberitahuan mengenai TRIMs” tertanggal 23 Mei 1995 (DEPLU Indonesia, 1996 : 96) memuat tentang daftar peraturan-peraturan nasional yang mengandung persyaratan kandungan lokal.
Disamping itu Indonesia secara aktif mengikuti perkembangan kerangka investasi multilateral untuk kemudian menyiapkan langkah-langkah dalam rangka memajukan ekonomi nasional ditengah tekanan dari Negara maju seperti kerangka Investasi multilateral yang diajukan oleh masyarakat Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Memahami usulan tersebut sangat penting dalam rangka mengantisipasi permasalahan yang dapat ditimbulkan dari usulan tersebut. Untuk memperkuat posisi tawarnya Indonesia turut juga memanfaatkan kerjasama sengan Negara-negara tetangga seperti APEC dan AFTA, kerjasama ini memuat kerangka Investasi regional.
Bentuk regulasi dan deregulasi yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam terkait prinsip National Treatment diantaranya adalah sebagai berikut. Dikeluarkannya Keppres Nomor 20 tahun 1998 tentang pencabutan Keppres Nomor 42 tahun 1996 tentang pembangunan mobil nasional. Dikeluarkannya Keppres ini lebih merupakan reaksi Pemerintah Indonesia atas keputusan Panel yang memeriksa perkara mobil nasional yang diajukan oleh masyarakat eropa dan Amerika serikat sehingga dengan demikian maka persyaratan kandungan lokal pada sektor otomotif tidak berlaku lagi. Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan otomotif tahun 1999, paket kebijakan ini sebagai tindak lanjut dari Letter of Intent  antara IMF dengan Pemerintah Indonesia ( Op.Cit Huala Adolf : 148) yang menghendaki dihapuskannya subsidi yang diberikan dalam program mobil nasional yang termuat dalam kebijakan otomotif tahun 1996 dan subsidi pajak yang dikaitkan dengan tingkat kandungan lokal seperti termuat dalam kebijakan otomotif tahun 1933.
Terkait dengan bidang usaha yang boleh dimasuki oleh penanaman modal asing, pemerintah Indonesia melakukan penyesuaian terhadap daftar negatif Investasi (DNI) melalui keputusan Presiden Nomor 96 tahun 2000. Keppres ini memuat 4 klasifikasi bidang usaha yaitu, (1) bidang usaha yang tertutup mutlak bagi penanaman modal; (2) bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal yang dalam modal perusahaan ada pemilikan WNA atau badan hukum asing; (3) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan patungan antara modal asing dengn modal dalam negeri dan (4) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu (www.bappenas.go.id) Melalui Keppres ini ketentuan kandungan lokal sebagai syarat untuk berinvestasi di Indonesia dihapus. DNI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat dirubah sesuai kebutuhan dan perkembangan keadaan. Dalam DNI tahun 2009 (http://www.analisadaily.com) ada beberapa daftar negatif yang masuk menjadi positif dengan tujuan untuk memberi nuansa investasi yang lebih positif namun sampai bulan November 2009 Pemerintah belum merilis DNI yang dimaksud.
Puncaknya adalah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan Undang-undang Nomor 6 tahun 1968 tentang penanaman modal karena selama 30 tahun PMA dan PMDN diatur terpisah dalam dua Undang-undang yang berbeda. Pembedaan pengaturan ini secara otomatis mengakibatkan pembedaan perlakuan terhadap PMA dan PMDN. Prinsip national treatment menjadi salah satu semangat bagi perubahan Undang-undang tersebut diatas sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Penanaman Modal yang meyatakan bahwa “Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk (a). mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan (b). mempercepat peningkatan penanaman modal. Kemudian pada ayat (2) disebutkan “dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), pemerintah memberi perlakuan sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional”.
Dalam Undang-undang ini bidang-bidang usaha yang terbuka dan tertutup lebih akomodatif terhadap PMA, Pasal 12 ayat (1) Undang-undang penanaman modal menyatakan “semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan”. Pasal ini mengisyaratkan adanya persamaan perlakuan dalam pemberlakuan bidang-bidang usaha yang terbuka bagi PMA dan PMDN bahkan penyebutannya telah disamakan dengan istilah “penanaman modal”.
Dengan regulasi dan deregulasi diatas diharapkan pertumbuhan ekonomi yang didorong investasi di sektor riil dapat memberi kontribusi signifikan bagi pembangunan namun tidak cukup sampai pengesahan Undang-undang penanaman modal saja karena pelaksanaannya akan terkait dengan Penyelesaian RUU Perpajakan serta aturan-aturan pelaksanaan lainnya.
Bagi Indonesia kebijakan di bidang Penanaman Modal Asing bukan semata-mata mengenai perdagangan Internasional saja melainkan merupakan hal yang berhubungan dengan pengaturan ekonomi secara makro mengingat PMA berkaitan langsung dengan sumberdaya-sumberdaya nasional yang ada. Hal ini berbeda dengan pembatasan yang dikehendaki oleh Negara maju yaitu pembatasan terhadap ruang gerak pemerintah suatu Negara dalam menerapkan kebijakan investasi. Mereka menghendaki adanya suatu rezim investasi multilateral yang berlaku untuk seluruh tindakan Negara yang berkaitan dengan penanaman modal. Artinya Negara maju menginginkan pembatasan kedaulatan setiap Negara untuk menentukan Peraturan Penanaman modal asing mereka.
Tidak dapat dipungkiri banyak pihak menganggap bahwa prinsip National Treatment justru telah semakin melapangkan jalan Multi National Corporation (MNC) untuk mencengkeramkan kuku-kukunya di segala penjuru dunia karena sebuah Negara harus memberikan perlakuan sama terhadap pengusaha dalam negeri dengan pengusaha dari Negara anggota lainnya. Dengan semakin mudahnya akses pasar ini persaingan akan semakin tajam. Ditambah dengan posisi tawar yang sama dikhawatirkan dalam prakteknya akan berlaku hukum alam siapa yang lebih kuat dia yang menang. Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka dituntut untuk lebih siap agar dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari keanggotaan Indonesia di WTO.
      Realisasi Prinsip National Treatment dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia sesungguhnya tidak menutup semua kemungkinan bagi Indonesia untuk memajukan Industri Nasional karena pada dasarnya GATT tidak melarang proteksi terhadap terhadap industri nasional selama proteksi yang diberikan hanya melalui tariff. Dengan demikian jika dibutuhkan, Negara dimungkinkan memperoleh pemasukan dari pos tariff dengan cara peningkatan tariff maksimal sampai 40 persen. Keuntungan lain yang masih bisa diperoleh adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk nelakukan penurunan tariff sektor industri karena tingkat tariff yang diterapkan jauh lebih rendah dari ketentuan yang dibenarkan GATT ( Mahmul Siregar, http//library.usu.ac.id.pdf, 2005 : 43).  Tujuan dari peraturan ini adalah agar ruang lingkup proteksi menjadi lebih transparan dengan poin terpenting yaitu tingkat tariff harus ditentukan melalui mekanisme pengikatan tariff yang dirundingkan antara Negara-negara anggota GATT sesuai  dengan pengaturan pasal II GATT yang mengatur tentang “hal-hal yang menyangkut dengan konsesi dan komitmen” dimana tariff yang telah diikat tetap dapat dirundingkan kembali sehingga pengikatann tariff ini dimaksudkan untuk menghindari praktek menaikkan tariff dengan persyaratan kompensasi.
Terkait dengan kedaulatan Negara dalam menentukan kebijakan ekonomi PBB memberikan jaminan untuk melindungi kepentingan nasional masing-masing sebagaimana tertuang dalam resolusi Majelis Umum PBB No.3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974 tentang Charter of economic rights and duties of States. Pada Article berbunyi “every state has and shall freely exercise full permanent sovereignity, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”.
Sejalan dengan resolusi umum PBB di atas Soenaryati Hartono memandang bahwa peranan Negara dalam urusan-urusan ekonomi masih sangat penting mengingat masalah ekonomi dewasa ini bukan lagi merupakan urusan privatum atau keperdataan semata melainkan telah menjadi urusan publicum yang membenarkan Negara untuk ikut campur lewat hukum administrasi (Soenaryati Hartono, 1988: 27). Hal ini tidak hanya berlaku bagi Negara-negara berkembang saja, konsep ini juga berlaku bagi Negara-negara maju yang menganut konsep welfare state.
Patut dimuat dalam tulisan ini jawaban Pemerintah RI atas pertanyaan fraksi-fraksi DPR RI dalam rapat Pleno Komisi I DPR RI tanggal 7 Oktober 1994 sebagai berikut:
“ada satu hal yang perlu kita sesuaikan yaitu di bidang kewajiban Investasi, dimana kita mengikatkan diri untuk menyesuaikan ketentuan Penanaman Modal yang tidak lagi membolehkan diwajibkannya penggunaan komponen-komponen dalam negeri dalam berbagai hak industri dan ini dengan sadar kita telah ikut menadatangani demi kemajuan industri kita di dalam negeri. Akibatnya, misalnya adalah di bidang industri otomotif tidak lagi akan menggunakan komponen dalam negeri kecuali harga buatan dalam negeri itu sendiri sudah cukup murah untuk dipakai dalam kegiatan investasi asing. namun sebaliknya dengan menggunakan komitmen itu kita masih ada jaga-jaga, dalam arti bahwa bidang akses pasar mengenai barang industri kita masih bisa memberikan perlindungan tariff kepada komponen dalam negeri…”

Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa Pemerintah menyimpan harapan besar bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO khususnya penerapan prinsip National Treatment akan membawa dampak positif terutama berupa akses pasar yang lebih luas dan penurunan tariff meski tidak berpengaruh langsung terhadap perekonomian namun membuka peluang Indonesia untuk meningkatkan neraca pembayaran dengan memasarkan produk-produk dalam Negeri ke berbagai Negara dan menghasilkan devisa yang lebih tinggi. Disamping itu juga akan menjadi motivasi tersendiri bagi pengusaha dalam negeri untuk meningkatkan kemampuannya dengan meningkatkan mutu produk ataupun kinerja perusahaan karena mereka dikondisikan untuk bersaing langsung dengan perusahaan-perusahaan lain dari seluruh dunia untuk menghasilkan produk terbaik yang diterima konsumen dan pada akhirnya mendapatkan keuntungan terbesar.

III.    SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Persyaratan-persyaratan Penanaman Modal Asing yang bertentangan dengan prinsip National Treatment adalah:
a.      Local content requirement adalah persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan Penanaman Modal Asing. sebagaimana tercantum dalam Paragraph . Terdapat 2 (dua) bentuk kegiatan yang dapat dikelompokkan sebagai tindakan local content requirement yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau presentase tertentu dan/ atau mewajibkan investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnnya dalam hal pengadaan barang- barang impor
b.      Trade balancing policy adalah persyaratan pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing. Untuk dapat digolongkan sebagai tindakan trade balancing policy suatu kebijakan harus mengandung unsur (a) penggunaan atau pembelian barang impor oleh perusahaan modal asing hanya dibenarkan jika perusahaan tersebut telah melakukan impor produk yang menggunakan produk dalam negeri, (b) jumlah barang impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan PMA dibatasi berdasarkan volume atau nilai produk lokal yang tekah diekspor oleh perusahaan asing yang bersangkutan.
2.      Dalam menyikapi Internalisasi Prinsip National Treatment dalam penanaman modal asing di Indonesia Pemerintah telah mengambil langkah-langkah regulasi dan deregulasi diawali dengan Dikeluarkannya Keppres Nomor 20 tahun 1998 tentang pencabutan Keppres Nomor 42 tahun 1996 tentang pembangunan mobil nasional. Sebagai reaksi terhadap putusan panel penyelesaian sengketa GATT yang memutus Pemerintah Indonesia telah melanggar ketentuan mengenai larangan persyaratan kandungan lokal dalam kebijakan “mobil nasional”. Yang terbaru adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memuat ketentuan mengenai pemberian perlakuan sama terhadap Penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Regulasi dan deregulasi yang diambil oleh pemerintah Indonesia dimaksudkan untuk megambil manfaat sebesar-sebesarnya dari persaingan bebas seperti akses pasar yang lebih luas dan penurunan tariff serta menghindarkan dampak buruk yang ditimbulkan seperti berkurangya kedaulatan Negara karena kebijakan penanaman modal lebih ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala, “Hukum Perdagangan Internasional”, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2004.

Departemen Luar Negeri Indonesia, “Pembentukan Wilayah Penanaman Modal ASEAN dan Implpikasinya bagi Indonesia”, Jakarta. 1996.

Farid, Hilmar, “Globalisasi Ekonomi. Apa artinya buat buruh?”, dalam http://geocities.com

Hartono, Soenaryati, “Hukum Ekonomi Pembangunan”, Bina Cipta, Bandung. 1988.

Hatta, “Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT-WTO”, Refika Aditama, Bandung. 2006

Manurung, Martin, “Investasi Asing antara Mitos dan Realita”, dalam http://www.indoprogress.blogspot.com

Peng, Kok, Khor, Martin, “Imperialisme Ekonomi Baru”, PT Gramedia pustaka utama- Khonpalindo, Jakarta. 1993.

Siregar, Mahmul, “Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal”, Universitas Sumatera Utara. Sekolah Pasca Sarjana. 2005

Siregar Mahmul, “Kesepakatan Perdagangan yang terkait dengan persyaratan Penanaman Modal,”, dalam http//library.usu.ac.id.pdf

Indonesia, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994

Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs), 1995


[*] Dwi Martini adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar