Rabu, 05 Desember 2012

PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA (ANTARA LIBERALISASI DAN PERLINDUNGAN KEPENTINGAN NASIONAL)



PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA (ANTARA LIBERALISASI DAN PERLINDUNGAN
KEPENTINGAN NASIONAL)

Dwi Martini[*]
Fakultas Hukum Universitas Mataram


ABSTRACT

Globalization has brought the world into a borderless situation including the matter of International trade. Within the circumstances countries all over the globe agreed to form the World Trade Organization aimed to regulate International trade activities which regulation undirectly also bind the foreign direct investment activities of WTO members. “non discrimination” is one of its main principle that obligate every member state to extend the National treatment that is an equal treatment given to either foreign or domestic investor by host country. Problem formulation of this research as follows how the form of foreign direct investment conditions contrary against the National Treatment principle and how government committed to the obligation of National Treatment principle in Indonesian Foreign direct investment activities?
This research used a judicial approach to solve the problem mentioned above which is a normative approach in digging the problem based on literatures and law and regulations related to problems being researched.
Foreign direct investment (FDI) conditions that contrary against National Treatment principle divided into 2 (two) classification, Local content requirement and trade balancing policy. Local content requirement is condition to buy or obligation to use local product in the production activities of a foreign direct investment company. Trade balancing policy is condition to buy or to use imported product measured by the number or value of local product imported by foreign direct investment company.
Since 1996 Indonesia has stated policies required to take over the obligation to implement the National Treatment in Indonesia’s FDI activities starting by reporting notification of national policy that potentially against TRIMs, in 2007 government has legalized the Investment law Number 25 of 2007 which clearly mentioning an equal treatment among domestic and foreign direct investor replaced former law separately concerning foreign direct investment and domestic investment.

Keywords : non-discrimination, Investment regulation

I.        PENDAHULUAN
Dewasa ini tak ada Negara yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan Negara lain baik melalui pertukaran modal maupun sumberdaya. Kondisi ini mencetuskan istilah “kampung global” untuk mengilustrasikan dunia selayaknya sebuah kampung yang dihuni oleh Negara-negara yang dapat dengan mudahnya menjalin komunikasi dan kerjasama tanpa terhalang oleh sekat-sekat teritorial.  bahkan para Nasionalis menilai peran Negara sebagai pengambil kebijakan sudah tidak lagi penting mengingat bahwa keputusan terkait perekonomian nasional tidak lagi tergantung kepada pemerintah suatu Negara melainkan semakin tergantung pada negosiasi dan kesepakatan Internasional.
Globalisasi ekonomi sejatinya hanya bertumpu pada 3 (tiga) hal yaitu (1) internasionalisasi dan liberalisasi perdagangan dan keuangan; (2) dominasi perusahaan transnasional; (3) peranan dan intervensi yang semakin kuat dari 3 organisasi ekonomi dunia yaitu International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO) (Hilmar Farid, http://www.geocities.com) sehingga arus barang dan jasa serta tenaga ahli dapat melintas batas Negara tanpa hambatan. WTO sendiri merupakan organisasi yang memiliki titik taut paling banyak dengan perdagangan Internasional sebagaimana tertuang dalam mukadimah WTO yang memuat maksud dan tujuan dari pendirian organisasi tersebut (Agreement Establishing The World Trade Organization, 2004 : preambule) :
“bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi Negara-negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan  tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing Negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar supaya Negara berkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan Internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya”

Menyadari akan arti penting keikutsertaan dalam percaturan politik dan ekonomi global Pemerintah Indonesia  telah memutuskan untuk mengambil bagian langkah awalnya adalah dengan meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 yang berarti bahwa Indonesia memiliki keterikatan untuk untuk melaksanakan seluruh hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan Uruguay yakni Kesepakatan mengenai kebijakan pembatasan Investasi yang terkait dengan perdagangan atau Trade Related Investment Measures (TRIMs), kesepakatan mengenai aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan atau Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs) dan Kesepakatan Umum mengenai Perdagangan Jasa Atau General Agreement on Trade in Service (GATS).
            Peraturan penanaman modal asing sesungguhnya tidak secara tegas termuat dalam perjanjian WTO baik dalam Agreement on TRIMs maupun GATS namun secara eksplisit muncul dalam rumusan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang telah dinegosiasikan dalam putaran Uruguay sejak tahun 1947. khususnya terkait prinsip non diskriminasi yang meliputi Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment Principle (NT). MFN menghendaki pemberian perlakuan sama kepada Negara yang satu dengan Negara yang lain oleh Negara penerima penanaman modal sedangkan prinsip NT mensyaratkan adanya perlakuan sama antara produk Negara tuan rumah dengan produk serupa dari luar negeri (Muhammad sood, 2005 : 25). Dalam prinsip yang terakhir terdapat dua kepentingan yang berhadap-hadapan secara langsung yaitu kepentingan nasional untuk melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk luar negeri dan kepentingan internasional yang menghendaki persaingan bebas dengan kesempatan yang sama.
            Dengan kata lain prinsip National Treatment melarang peraturan-peraturan diskriminatif sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk dalam negeri.  Termasuk didalamnya tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini juga berlaku pula terhadap Perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum yang dapat mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri dan pemberian  perlindungan terhadap proteksionisme sebagai upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif (Mahmul siregar, 2005: 68)
Bagi Negara-negara berkembang dan terbelakang kebijakan pembatasan terhadap penanaman modal asing masih diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional mereka dari persaingan yang tidak seimbang antara industri domestik dengan modal dan sumberdaya terbatas melawan perusahaan-perusahaan multinasional yang jelas-jelas jauh lebih perkasa dalam bidang permodalan maupun tehnologi. Persaingan bebas murni hanya dapat diterapkan apabila para pemainnya berada dalam kondisi yang setara. Sebagaimana diungkapkan oleh Martin Khor Kok Peng bahwa “putaran Uruguay adalah usaha yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang akan memberikan kepada mereka kebebasan mutlak serta berbagai hak untuk beroperasi sekehendak hati mereka, tanpa ketakutan sedikitpun terhadap munculnya para pesaing baru, hampir di semua tempat di seluruh dunia”. (Martin Khor Kok Peng, 1993: 42)
Sebagai Negara yang berdaulat secara hukum maupun politik Indonesia sejak awal pendirianya telah menentukan bentuk perekonomian Indonesia yang disusun bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. MPR menegaskan bahwa perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemadirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “bagaimanakah bentuk persyaratan-persyaratan Penanaman Modal asing yang bertentangan dengan prinsip National Treatment?” dan “bagaimanakah pemerintah Indonesia menyikapi kewajiban menerapkan Prinsip National Treatment dalam Penanaman modal asing di Indonesia?

II.      PEMBAHASAN
A.      Persyaratan-persyaratan PMA yang bertentangan dengan prinsip national treatment.

Agreement on TRIMs pada Article 2 pada prinsip melarang semua persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten dengan article III.4 GATT 1994 tentang National Treatment yang berbunyi sebagai berikut:
“The product of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation distribution of use
Dengan alasan tidak adanya suatu kesepakatan tentang bentuk pasti dari persyaratan penanaman modal yang tidak konsisten dengan Article III.4 sebagaimana tertulis diatas maka Dirjen GATT memberikan illustrative list yang berisi gambaran mengenai tindakan persyaratan penanaman modal yang dilarang tersebut yaitu:
a.      persyaratan untuk membeli atau kewajiban untuk menggunakan produk-produk lokal oleh perusahaan (local content requirement) atau
b.      pembelian atau penggunaan produk impor yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai produk lokal yang diekspor (trade balancing policy). (Huala Adolf, 2004: 109).
1.      Local content Requirement
Larangan untuk memberlakukan local content requirement atau persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan penanaman modal tercantum dalam Paragraph 1.a Illustrative list Agreement on TRIMs. Disebutkan bahwa terdapat dua bentuk kegiatan yang dapat dikelompokkan sebagai tindakan pemberlakuan persyaratan kandungan lokal yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam Negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau mewajibkan investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri atau menutp kesempatan perusahaan modal asing untuk melakukan impor secara langsung.
Kebijakan local content requirement dilarang karena kebijakan tersebut merupakan tindakan diskriminatif terhadap produk impor. Pemberlakuan kewajiban untuk membeli atau mempergunakan barang-barang lokal oleh investor menandakan bahwa Negara tuan rumah (Host Country) telah memberikan perlakuan yang lebih baik (preferential treatment) kepada produk lokal dibandingkan produk impor dan dengan demikian Pemerintah Negara tuan rumah telah merintangi akses pasar bagi produk yang sama dari luar Negeri.
Contoh penerapan Local content requirement dapat dilihat dari tindakan Pemerintah kanada yang memberlakukan kewajiban bagi investor asing untuk membeli atau menggunakan produk buatan dalam negeri yang merupakan syarat untuk dapat berinvestasi di wilayah Kanada. Selain itu pemerintah kanada juga mewajibkan para investor yang mempergunakan produk impor dalam kegiatan produksinya untuk membeli produk-produk impor dari importir Kanada. Panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara yang dilaporkan oleh Pemerintah Amerika Serikat ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan Pemerintah Kanada tersebut merupakan suatu pelanggaran Terhadap Pasal III.4 GATT.
Indonesia pun pernah diadukan ke Panel penyelesaian sengketa GATT terkait program “Mobil Nasional” sebagaimana termuat dalam Keppres Nomor 42 Tahun 1996 dan peraturan pendukung lainnya. Negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menganggap kebijakan tersebut melanggar Perjanjian TRIMs khususnya terkait dengan larangan persyaratan local content requirement dengan argumen bahwa kebijakan tersebut memperkenankan kendaraan lengkap diproduksi di luar negeri kemudian diimpor ke dalam negeri dengan tariff selayaknya “mobil nasional”.
Keringanan pajak yang diterima “mobil nasional” dari Korea ini dianggap telah melanggar prinsip tersebut karena produk otomotif dari Negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropa dijual dengan harga lebih tinggi akibat pengenaan pajak yang jauh lebih tinggi. Dengan alasan tersebut Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia melancarkan klaim bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah melanggar Pasal I dan Pasal III GATT, Pasal 2 perjanjian TRIMs, Pasal 3, 6 dan 28 perjanjian SCM (Subsidi dan Imbalan Bea Masuk serta Pasal 3, 20 dan 65 Persetujuan TRIPs (ibid: 147).
Dalam putusannya Panel menyatakan bahwa persyaratan kandungan lokal (local content requirement) dalam program mobil nasional 1993 dan 1996 dan telah merugikan negara-negara Eropa karena bertentangan dengan Pasal 2 perjanjian TRIMs dan article 27.4 Agreement on subsidies and contorveiling measures sementara tuntutan lainnya tidak dikabulkan oleh Panel. Putusan ini mewajibkan Pemerintah Indonesia mencabut semua Keputusan Presiden beserta Peraturan lainnya yang terkait dengan persyaratan kandungan lokal.
Meskipun mendapat pembelaan dari India dan Korea namun Pemerintah Indonesia tidak mengajukan banding atas putusan Panel tersebut. Yang patut dicatat adalah ketika kasus “mobil nasional” tersebut disidangkan Indonesia sedang mengalami krisis moneter dan sedang membutuhkan bantuan dana dari donor Internasional khususnya IMF, untuk mendapatkan bantuan dana tersebut Indonesia diharuskan untuk meyesuaikan peraturan Penanaman modalnya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip WTO, salah satunya terkait larangan local content requirement dalam program “mobil nasional” (ibid: 148). Sehingga nyaris tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Indonesia kecuali menerima keputusan Panel dan menghentikan program yang dimaksud.

2.      Trade Balancing Policy
Ketentuan mengenai Trade Balancing Policy diatur dalam Paragraph 1.(b) Agreement on TRIMs. Yang dimaksud dengan Trade Balancing Policy adalah persyaratan pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing. Untuk dapat dikatakan suatu tindakan Trade Balancing Policy, suatu kebijakan harus mengandung unsur:
a.      penggunaan atau pembelian barang impor oleh perusahaan modal asing hanya  dibenarkan jika perusahaan tersebut telah melakukan impor produk yang menggunakan importir negeri;
b.      jumlah barang impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan PMA terbatas sampai jumlah tertentu, pembatasan tersebut ditetapkan berdasarkan volume atau nilai produk lokal yang telah diekspor oleh perusahaan modal asing yang bersangkutan (Op.Cit Mahmul Siregar : 18).

            Dari kedua unsur diatas dapat dilihat bahwa Trade Balancing Policy merupakan hambatan bagi investor asing untuk melakukan kegiatan impor secara langsung. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya diperbolehkan membeli barang impor yang sudah berada di pasar domestik host country dan di impor oleh perusahaan domestik.
            Dalam kebijakan yang demikian terdapat diskriminasi terhadap barang impor yang dikaitkan dengan kewajiban ekspor barang buatan dalam negeri sehingga lebih mengutamakan produk lokal dibanding produk impor. Oleh sebab itu dalam bentuk apapun Trade Balancing Policy dilarang karena bertentangan dengan Article III.4 GATT.
            Negara yang pernah menerapkan Trade Balancing Policy adalah India dengan mewajibkan investor untuk menandatangani MoU ( Memorandum of Understanding) dengan kementerian perdagangan India yang menyatakan bahwa hak investor untuk menggunakan produk impor dibatasi oleh kuota penggunaan kandungan lokal yang telah dipenuhi oleh investor tersebut (ibid). kebijakan ini diputuskan melanggar Article III.4 GATT Jo Paragraph 1. (b) oleh panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara tersebut.
            Pada tahun 1995 Brazil pernah mengeluarkan kebijakan investasi yang memadukan local content requirement dan trade balancing policy melalui pemberian insentif investasi dalam bentuk penurunan bea masuk hingga 90 persen untuk impor barang modal dan penurunan bea masuk berkisar antara 40 sampai 80 persen untuk impor bahan baku dan komponen otomotif yang diberikan kepada para investor yang memenuhi persyaratan Pemerintah Brazil serta penurunan bea masuk hingga 50 persen juga diberikan kepada produsen otomotif yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan seperti penggunaan kandungan lokal sebesar 60 persen dari total pemakaian bahan baku, menyeimbangkan perbandingan penggunaan barang mentah impor dengan produk buatan dalam negeri termasuk menyeimbangkan penggunaan barang modal impor dengan buatan dalam negeri, impor otomotif tidak diperkenankan melebihi jumlah yang telah di ekspor dan impor komponen tidak lebih dari dua pertiga bagian dari keseluruhan komponen yang diekspor.
            Suatu persyaratan perdagangan dapat digolongkan sebagai trade balancing policy apabila barang-barang impor sudah memasuki pasar domestik Negara tuan rumah karena sebelum masuk ke pasar domestik Negara diskriminasi diskriminasi internal tidak mungkin terjadi. Ini perlu diperhatikan karena persyaratan kebijakan keseimbangan perdagangan yang dikenakan sebelum barang-barang impor memasuki pasar domestik Negara tuan rumah tidak melanggar Article III.4 GATT melainkan merupakan pelanggran terhadap Article XI GATT tentang General Prohibition on quantitive restriction.

3.      Pengecualian-pengecualian dalam penerapan prinsip National Treatment.
Pada dasarnya GATT tidak melarang perlindungan bagi industri lokal, namun perlindungan yang diberikan harus berupa tariff dan bukan melalui tindakan-tindakan perdagangan lain (non-tarif), misalnya berupa kuota atau peraturan perpajakan Nasional yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan. Tariff yang akan dibebankan terhadap suatu produk harus dilakukan pengikatan tingkat tariff terlebih dahulu (binding) dan didaftarkan dalam suatu tariff schedule yang merupakan bagian integral dari general agreement (Hatta, 2006 : 90).
Ketentuan pada Pasal III.4 tentang National Treatment ini tetap memperoleh pengecualian seperti yang diatur dalam Article III.4 poin 8 (a) yang berbunyi “ketentuan-ketentuan artikel III ini tidak berlaku terhadap Undang-undang, regulasi dan persyaratan yang menyangkut pembelian pemerintah untuk kebutuhannya sendiri dan tidak untuk dijual ulang sebagai masukan bagi produksi barang bagi penjualan komersil” ; poin 8 (b) ketentuan-ketentuan artikel ini tidak menghalangi pemberian subsidi yang eksklusif bagi produsen dalam negeri, termasuk pembayaran yang berasal dari hasil pajak-pajak dari pungutan internal yang dikenakan secara konsisten dengan ketentuan-ketentuan artikel ini dan subsidi yang timbul melalui pembelian pemerintah dari produk-produk domestik.

B.     Sikap Pemerintah Indonesia terkait keharusan menerapkan Prinsip National Treatment dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia

Penerapan prinsip National Treatment dalam penanaman modal asing di Indonesia di satu sisi telah menghilangkan kesempatan Indonesia untuk mempromosikan industri dalam Negeri melalui kebijakan local content requirement dan trade balancing policy, hal tersebut dicatat sebagai sebuah kerugian karena kesepakatan ini telah membuka paksa pasar Indonesia bagi masuknya pesaing-pesaing dari Negara yang lebih kuat (Martin Manurung, http//www.indoprogress.com.). Melalui ketentuan ini batas-batas Negara tidak lagi menjadi halangan bagi lalu lintas perdagangan karena barang dan jasa akan bebas diperjual belikan di mana saja, keseluruhan negara anggota telah bersatu menjadi satu pasar bebas dan terbuka. Di sisi lain politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif mengisyaratkan Indonesia untuk berperan serta secara aktif mewujudkan iklim kondusif bagi persaingan bebas dalam perekonomian global dan mengambil manfaat dari kebijakan-kebijakan non diskriminasi tersebut bagi kepentingan nasional.
Selain pertimbangan akses pasar dan penurunan tariff, prinsip National Treatment berpotensi untuk mengurangi konflik antar pelaku PMA yaitu Pemerintah Negara tuan tumah, Pemerintah Negara asal dan Penanam modal karena prinsip ini akan memberikan jaminan keamanan terutama bagi penanam modal, sedangkan bagi Negara penerima modal prinsip ini memungkinkan mereka memberlakukan aturan yang sama mengikatnya terhadap Investor asing dan domestik. Sehingga apabila Investor asing melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di Indonesia maka mereka mereka akan dijerat dengan hukum yang berlaku tanpa adanya keistimewaan tertentu.
Setelah perundingan TRIMs selesai dibahas, pemerintah Republik Indonesia langsung mengambil langkah-langkah untuk menyesuaikan diri dengan isi persetujuan sesuai dengan persetujuan Indonesia harus melakukan notifikasi mengenai TRIMs yang bertentangan dengan GATT setidaknya 90 hari sejak pembentukan WTO, menghapusnya dalam 5 tahun dan selama masa transisi tidak diperkenankan mengubah atau menambah aturan-aturan investasi yang dapat menyebabkan distorsi perdagangan (Persetujuan mengenai TRIMs, 1995). Berikut ini akan diuraikan beberapa regulasi dan deregulasi terkait dengan prinsip national treatment.
Sebagai langkah awal Pemerintah melakukan notifikasi terhadap segala kebijakan perdagangan yang berpotensi bertentangan dengan TRIMs sebagaimana di sampaikan oleh pemerintah Indonesia kepada WTO dalam “Pemberitahuan-pemberitahuan mengenai TRIMs” tertanggal 23 Mei 1995 (DEPLU Indonesia, 1996 : 96) memuat tentang daftar peraturan-peraturan nasional yang mengandung persyaratan kandungan lokal.
Disamping itu Indonesia secara aktif mengikuti perkembangan kerangka investasi multilateral untuk kemudian menyiapkan langkah-langkah dalam rangka memajukan ekonomi nasional ditengah tekanan dari Negara maju seperti kerangka Investasi multilateral yang diajukan oleh masyarakat Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Memahami usulan tersebut sangat penting dalam rangka mengantisipasi permasalahan yang dapat ditimbulkan dari usulan tersebut. Untuk memperkuat posisi tawarnya Indonesia turut juga memanfaatkan kerjasama sengan Negara-negara tetangga seperti APEC dan AFTA, kerjasama ini memuat kerangka Investasi regional.
Bentuk regulasi dan deregulasi yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam terkait prinsip National Treatment diantaranya adalah sebagai berikut. Dikeluarkannya Keppres Nomor 20 tahun 1998 tentang pencabutan Keppres Nomor 42 tahun 1996 tentang pembangunan mobil nasional. Dikeluarkannya Keppres ini lebih merupakan reaksi Pemerintah Indonesia atas keputusan Panel yang memeriksa perkara mobil nasional yang diajukan oleh masyarakat eropa dan Amerika serikat sehingga dengan demikian maka persyaratan kandungan lokal pada sektor otomotif tidak berlaku lagi. Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan otomotif tahun 1999, paket kebijakan ini sebagai tindak lanjut dari Letter of Intent  antara IMF dengan Pemerintah Indonesia ( Op.Cit Huala Adolf : 148) yang menghendaki dihapuskannya subsidi yang diberikan dalam program mobil nasional yang termuat dalam kebijakan otomotif tahun 1996 dan subsidi pajak yang dikaitkan dengan tingkat kandungan lokal seperti termuat dalam kebijakan otomotif tahun 1933.
Terkait dengan bidang usaha yang boleh dimasuki oleh penanaman modal asing, pemerintah Indonesia melakukan penyesuaian terhadap daftar negatif Investasi (DNI) melalui keputusan Presiden Nomor 96 tahun 2000. Keppres ini memuat 4 klasifikasi bidang usaha yaitu, (1) bidang usaha yang tertutup mutlak bagi penanaman modal; (2) bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal yang dalam modal perusahaan ada pemilikan WNA atau badan hukum asing; (3) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan patungan antara modal asing dengn modal dalam negeri dan (4) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu (www.bappenas.go.id) Melalui Keppres ini ketentuan kandungan lokal sebagai syarat untuk berinvestasi di Indonesia dihapus. DNI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat dirubah sesuai kebutuhan dan perkembangan keadaan. Dalam DNI tahun 2009 (http://www.analisadaily.com) ada beberapa daftar negatif yang masuk menjadi positif dengan tujuan untuk memberi nuansa investasi yang lebih positif namun sampai bulan November 2009 Pemerintah belum merilis DNI yang dimaksud.
Puncaknya adalah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan Undang-undang Nomor 6 tahun 1968 tentang penanaman modal karena selama 30 tahun PMA dan PMDN diatur terpisah dalam dua Undang-undang yang berbeda. Pembedaan pengaturan ini secara otomatis mengakibatkan pembedaan perlakuan terhadap PMA dan PMDN. Prinsip national treatment menjadi salah satu semangat bagi perubahan Undang-undang tersebut diatas sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Penanaman Modal yang meyatakan bahwa “Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk (a). mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan (b). mempercepat peningkatan penanaman modal. Kemudian pada ayat (2) disebutkan “dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), pemerintah memberi perlakuan sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional”.
Dalam Undang-undang ini bidang-bidang usaha yang terbuka dan tertutup lebih akomodatif terhadap PMA, Pasal 12 ayat (1) Undang-undang penanaman modal menyatakan “semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan”. Pasal ini mengisyaratkan adanya persamaan perlakuan dalam pemberlakuan bidang-bidang usaha yang terbuka bagi PMA dan PMDN bahkan penyebutannya telah disamakan dengan istilah “penanaman modal”.
Dengan regulasi dan deregulasi diatas diharapkan pertumbuhan ekonomi yang didorong investasi di sektor riil dapat memberi kontribusi signifikan bagi pembangunan namun tidak cukup sampai pengesahan Undang-undang penanaman modal saja karena pelaksanaannya akan terkait dengan Penyelesaian RUU Perpajakan serta aturan-aturan pelaksanaan lainnya.
Bagi Indonesia kebijakan di bidang Penanaman Modal Asing bukan semata-mata mengenai perdagangan Internasional saja melainkan merupakan hal yang berhubungan dengan pengaturan ekonomi secara makro mengingat PMA berkaitan langsung dengan sumberdaya-sumberdaya nasional yang ada. Hal ini berbeda dengan pembatasan yang dikehendaki oleh Negara maju yaitu pembatasan terhadap ruang gerak pemerintah suatu Negara dalam menerapkan kebijakan investasi. Mereka menghendaki adanya suatu rezim investasi multilateral yang berlaku untuk seluruh tindakan Negara yang berkaitan dengan penanaman modal. Artinya Negara maju menginginkan pembatasan kedaulatan setiap Negara untuk menentukan Peraturan Penanaman modal asing mereka.
Tidak dapat dipungkiri banyak pihak menganggap bahwa prinsip National Treatment justru telah semakin melapangkan jalan Multi National Corporation (MNC) untuk mencengkeramkan kuku-kukunya di segala penjuru dunia karena sebuah Negara harus memberikan perlakuan sama terhadap pengusaha dalam negeri dengan pengusaha dari Negara anggota lainnya. Dengan semakin mudahnya akses pasar ini persaingan akan semakin tajam. Ditambah dengan posisi tawar yang sama dikhawatirkan dalam prakteknya akan berlaku hukum alam siapa yang lebih kuat dia yang menang. Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka dituntut untuk lebih siap agar dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari keanggotaan Indonesia di WTO.
      Realisasi Prinsip National Treatment dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia sesungguhnya tidak menutup semua kemungkinan bagi Indonesia untuk memajukan Industri Nasional karena pada dasarnya GATT tidak melarang proteksi terhadap terhadap industri nasional selama proteksi yang diberikan hanya melalui tariff. Dengan demikian jika dibutuhkan, Negara dimungkinkan memperoleh pemasukan dari pos tariff dengan cara peningkatan tariff maksimal sampai 40 persen. Keuntungan lain yang masih bisa diperoleh adalah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk nelakukan penurunan tariff sektor industri karena tingkat tariff yang diterapkan jauh lebih rendah dari ketentuan yang dibenarkan GATT ( Mahmul Siregar, http//library.usu.ac.id.pdf, 2005 : 43).  Tujuan dari peraturan ini adalah agar ruang lingkup proteksi menjadi lebih transparan dengan poin terpenting yaitu tingkat tariff harus ditentukan melalui mekanisme pengikatan tariff yang dirundingkan antara Negara-negara anggota GATT sesuai  dengan pengaturan pasal II GATT yang mengatur tentang “hal-hal yang menyangkut dengan konsesi dan komitmen” dimana tariff yang telah diikat tetap dapat dirundingkan kembali sehingga pengikatann tariff ini dimaksudkan untuk menghindari praktek menaikkan tariff dengan persyaratan kompensasi.
Terkait dengan kedaulatan Negara dalam menentukan kebijakan ekonomi PBB memberikan jaminan untuk melindungi kepentingan nasional masing-masing sebagaimana tertuang dalam resolusi Majelis Umum PBB No.3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974 tentang Charter of economic rights and duties of States. Pada Article berbunyi “every state has and shall freely exercise full permanent sovereignity, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”.
Sejalan dengan resolusi umum PBB di atas Soenaryati Hartono memandang bahwa peranan Negara dalam urusan-urusan ekonomi masih sangat penting mengingat masalah ekonomi dewasa ini bukan lagi merupakan urusan privatum atau keperdataan semata melainkan telah menjadi urusan publicum yang membenarkan Negara untuk ikut campur lewat hukum administrasi (Soenaryati Hartono, 1988: 27). Hal ini tidak hanya berlaku bagi Negara-negara berkembang saja, konsep ini juga berlaku bagi Negara-negara maju yang menganut konsep welfare state.
Patut dimuat dalam tulisan ini jawaban Pemerintah RI atas pertanyaan fraksi-fraksi DPR RI dalam rapat Pleno Komisi I DPR RI tanggal 7 Oktober 1994 sebagai berikut:
“ada satu hal yang perlu kita sesuaikan yaitu di bidang kewajiban Investasi, dimana kita mengikatkan diri untuk menyesuaikan ketentuan Penanaman Modal yang tidak lagi membolehkan diwajibkannya penggunaan komponen-komponen dalam negeri dalam berbagai hak industri dan ini dengan sadar kita telah ikut menadatangani demi kemajuan industri kita di dalam negeri. Akibatnya, misalnya adalah di bidang industri otomotif tidak lagi akan menggunakan komponen dalam negeri kecuali harga buatan dalam negeri itu sendiri sudah cukup murah untuk dipakai dalam kegiatan investasi asing. namun sebaliknya dengan menggunakan komitmen itu kita masih ada jaga-jaga, dalam arti bahwa bidang akses pasar mengenai barang industri kita masih bisa memberikan perlindungan tariff kepada komponen dalam negeri…”

Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa Pemerintah menyimpan harapan besar bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO khususnya penerapan prinsip National Treatment akan membawa dampak positif terutama berupa akses pasar yang lebih luas dan penurunan tariff meski tidak berpengaruh langsung terhadap perekonomian namun membuka peluang Indonesia untuk meningkatkan neraca pembayaran dengan memasarkan produk-produk dalam Negeri ke berbagai Negara dan menghasilkan devisa yang lebih tinggi. Disamping itu juga akan menjadi motivasi tersendiri bagi pengusaha dalam negeri untuk meningkatkan kemampuannya dengan meningkatkan mutu produk ataupun kinerja perusahaan karena mereka dikondisikan untuk bersaing langsung dengan perusahaan-perusahaan lain dari seluruh dunia untuk menghasilkan produk terbaik yang diterima konsumen dan pada akhirnya mendapatkan keuntungan terbesar.

III.    SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Persyaratan-persyaratan Penanaman Modal Asing yang bertentangan dengan prinsip National Treatment adalah:
a.      Local content requirement adalah persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan Penanaman Modal Asing. sebagaimana tercantum dalam Paragraph . Terdapat 2 (dua) bentuk kegiatan yang dapat dikelompokkan sebagai tindakan local content requirement yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau presentase tertentu dan/ atau mewajibkan investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnnya dalam hal pengadaan barang- barang impor
b.      Trade balancing policy adalah persyaratan pembatasan pembelian atau penggunaan produk impor sampai jumlah tertentu yang dikaitkan dengan volume atau nilai produk lokal yang diekspor oleh perusahaan penanaman modal asing. Untuk dapat digolongkan sebagai tindakan trade balancing policy suatu kebijakan harus mengandung unsur (a) penggunaan atau pembelian barang impor oleh perusahaan modal asing hanya dibenarkan jika perusahaan tersebut telah melakukan impor produk yang menggunakan produk dalam negeri, (b) jumlah barang impor yang boleh dipergunakan oleh perusahaan PMA dibatasi berdasarkan volume atau nilai produk lokal yang tekah diekspor oleh perusahaan asing yang bersangkutan.
2.      Dalam menyikapi Internalisasi Prinsip National Treatment dalam penanaman modal asing di Indonesia Pemerintah telah mengambil langkah-langkah regulasi dan deregulasi diawali dengan Dikeluarkannya Keppres Nomor 20 tahun 1998 tentang pencabutan Keppres Nomor 42 tahun 1996 tentang pembangunan mobil nasional. Sebagai reaksi terhadap putusan panel penyelesaian sengketa GATT yang memutus Pemerintah Indonesia telah melanggar ketentuan mengenai larangan persyaratan kandungan lokal dalam kebijakan “mobil nasional”. Yang terbaru adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memuat ketentuan mengenai pemberian perlakuan sama terhadap Penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Regulasi dan deregulasi yang diambil oleh pemerintah Indonesia dimaksudkan untuk megambil manfaat sebesar-sebesarnya dari persaingan bebas seperti akses pasar yang lebih luas dan penurunan tariff serta menghindarkan dampak buruk yang ditimbulkan seperti berkurangya kedaulatan Negara karena kebijakan penanaman modal lebih ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala, “Hukum Perdagangan Internasional”, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2004.

Departemen Luar Negeri Indonesia, “Pembentukan Wilayah Penanaman Modal ASEAN dan Implpikasinya bagi Indonesia”, Jakarta. 1996.

Farid, Hilmar, “Globalisasi Ekonomi. Apa artinya buat buruh?”, dalam http://geocities.com

Hartono, Soenaryati, “Hukum Ekonomi Pembangunan”, Bina Cipta, Bandung. 1988.

Hatta, “Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT-WTO”, Refika Aditama, Bandung. 2006

Manurung, Martin, “Investasi Asing antara Mitos dan Realita”, dalam http://www.indoprogress.blogspot.com

Peng, Kok, Khor, Martin, “Imperialisme Ekonomi Baru”, PT Gramedia pustaka utama- Khonpalindo, Jakarta. 1993.

Siregar, Mahmul, “Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal”, Universitas Sumatera Utara. Sekolah Pasca Sarjana. 2005

Siregar Mahmul, “Kesepakatan Perdagangan yang terkait dengan persyaratan Penanaman Modal,”, dalam http//library.usu.ac.id.pdf

Indonesia, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994

Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs), 1995


[*] Dwi Martini adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram

Selasa, 13 November 2012

KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEGIATAN PENANAMAN MODAL DALAM BIDANG PERHOTELAN DI KABUPATEN LOMBOK BARAT



KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEGIATAN PENANAMAN MODAL DALAM BIDANG PERHOTELAN DI KABUPATEN LOMBOK BARAT

Dwi Martini

Fakultas Hukum Universitas Mataram

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian normatif-empiris mengenai “Kajian Yuridis terhadap kegiatan penanaman modal dalam bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat”. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan di bidang penanaman modal yang terkait dengan usaha perhotelan di Kabupaten Lombok Barat dan untuk mengetahui kontribusi dari kebijakan-kebijakan tersebut dalam mendorong perkembangan penanaman modal daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kebijakan berupa peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah daerah dalam rangka mengatur kegiatan Penanaman Modal di daerahnya seperti Peraturan Daerah (Perda), Keputusan Bupati, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal meskipun tidak ada kebijakan yang khusus hanya mengatur kegiatan penanaman modal di bidang usaha perhotelan.
Kontribusi dari kebijakan-kebijakan tersebut dalam mendorong perkembangan kegiatan investasi di bidang perhotelah dapat dilihat dari peningkatan jumlah usaha perhotelan dari tahun ke tahun, dari tahun 2007-2011.
Kebijakan Penanaman Modal yang dibuat oleh Pemerintah daerah telah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal seperti implementasi asas Non-diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap Penanam Modal dalam Negeri dan asing, memuat hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal serta memuat tentang fasilitas dan insentif penanaman modal.
Di sisi lain masih diperlukan beberapa perubahan untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan daerah tersebut terutama untuk mempersingkat jalur birokrasi dan mendukung implementasi pengarahan, pengendalian dan pengawasan penanaman modal.

Kata kunci: non-diskriminasi, kepastian hukum


ABSTRACT

This reseach is a normative – empirical type of reseach concerning “Legal study of direct investment related to hospitality business in Lombok Barat Regency”. This reseach is made to find out and analyze investment policies related to hospitality business existing in Lombok Barat regency and to find out the contribution of these policies to encourage the development of local investment. The reseach result shows that there are several Law and regulation existing as policies made by local government to rule direct investment specially hospitality business in their area such as local law, The decision of the head of the regency, The decision of the head of Investment coordinating body eventhought none of these policies specifically rule investment in hospitality business.
Contributions of these policy to encourage the development of investment in hospitality business could be seen from the increase number of hospitality business investment year to year from year 2007-2011.
Investment policy that formulated by local government has adjusted to Investment Law number 25 of 2007 concerning Investment such as the implementation of non-discrimination principle by giving an equal treatment toward domestic and foreign investment, mentioning the right, obligation and responsibility of the investors also giving investment facilities and incentives.
In the other side it still necessarry to make some changes for the perfection of those local policies specially to shorten the bureaucracy line and to support the implementation of investment guidance, control and supervision.

Key word: Non discrimination, Law certainty.

I.       PENDAHULUAN
Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang menyimpan potensi wisata dengan nilai jual tinggi. Potensi tersebut hanya akan menjadi sumber ekonomi potensial apabila tidak dikelola oleh pihak-pihak yang mampu mempertinggi nilai ekonomisnya agar berdaya guna dalam mendorong laju pembangunan nasional dan daerah. Untuk itu diperlukan peranan para usahawan yang dengan naluri pengusahanya dapat mempercantik sekaligus meningkatkan nilai jual kepariwisataan Kabupaten Lombok Barat.
Salah satu unsur pendukung penting dari industri pariwisata adalah akomodasi khususnya di bidang perhotelan sebagai penyedia hunian beserta fasilitas lainnya yang dibutuhkan oleh para wisatawan. Semakin majunya industri pariwisata di suatu daerah ditentukan oleh seberapa lengkap dan beragamnya jenis hotel beserta fasilitas yang ditawarkan. Pada awal keberadaannya hotel berfungsi sebagai sarana penunjang bepergian yang berjarak jauh dari tempat tinggal sehingga dibutuhkan sarana akomodasi untuk tempat beristirahat berupa kamar tidur.
Industri perhotelan telah dikenal di Indonesia sejak masa kolonial belanda dengan dibangunnya beberapa hotel di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor Surabaya, Malang, Solo, Jogjakarta, Medan dan Makasar oleh pemerintah Hindia-Belanda dan sejak itu dunia perhotelan terus  mengalami perkembangan hingga saat ini.  Menurut data Badan Pusat Statistik hingga tahun 2009 jumlah hotel berbintang yang tersebar di seluruh Indonesia telah mencapai angka 1.240 dimana 33 diantaranya terdapat di Propinsi NTB yang konsetrasi terbesarnya berada di Kabupaten Lombok Barat.
Angka diatas menunjukkan besarnya minat penanam modal untuk berinvestasi di bidang perhotelan. Hal ini didukung oleh pernyataan Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata  bahwa investasi di bidang pariwisata masih terkonsentrasi pada dua bidang usaha yaitu perhotelan dan restoran. Bahkan berdasarkan data statistik pada Tahun 2007 sektor Pariwisata adalah satu-satunya sektor yang berkembang di Kabupaten Lombok Barat. Hal ini didorong oleh faktor-faktor seperti masih murahnya harga properti di Indonesia secara umum dan khususnya Kabupaten Lombok Barat sehingga menarik minat investor asing, murahnya harga tiket sehingga mempermudah masyarakat untuk berwisata, otonomi daerah yang mendorong pemerintah daerah Kabupaten Lombok Barat untuk mempercantik daerahnya agar menarik untuk dikunjungi wisatawan. Selain faktor-faktor non hukum tersebut masih diperlukan kebijakan-kebijakan terkait penanaman modal untuk mewujudkan cita-cita pembangunan kepariwisataan yang mampu mendorong pemerataan kesempatan berusaha, bermanfaat dan mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.
      Secara umum penanaman modal mulai terlibat dalam industri pariwisata di Indonesia sejak diterbitkannya Undang-undang Penanaman modal yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Penanaman modal asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman modal Dalam Negeri yang membuka kesempatan bagi penanam modal asing maupun domestik untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Selanjutnya pengaturan mengenai kegiatan penanaman modal dalam industri perhotelan tersebar dalam beberapa produk hukum seperti dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, sedangkan untuk pembangunan dan pengusahaan hotel diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.3/ HK.001/MKP.02 Tentang Penggolongan kelas hotel.
Kehadiran Undang-undang penanaman modal No.25 Tahun 2007 memberi kepastian hukum yang lebih baik bagi kegiatan penanaman modal, terutama dengan diberlakukannya asas non diskriminasi yang mewajibkan adanya perlakuan sama terhadap penanam modal dalam Negeri dengan penanam modal asing yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Artinya terbuka kesempatan lebih  luas bagi pihak asing untuk berpartisipasi dalam industri perhotelan nasional karena membuka tabir-tabir yang sebelumnya menghalangi masuknya investasi asing. Namun demikian usaha untuk mengundang peran serta investasi asing tidak boleh mematikan kesempatan penanam modal dalam Negeri untuk berperan serta dalam pembangunan, sebaliknya kegiatan investasi harus bercirikan demokrasi ekonomi untuk kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “bagaimanakah bentuk kebijakan di bidang perhotelan dalam hukum penanaman modal di Kabupaten Lombok Barat? dan bagaimanakah peranan dari kebijakan-kebijakan tersebut dalam pengembangan usaha perhotelan di Kabupaten Lombok Barat?”
II.                Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan normatif-empiris yaitu pendekatan yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang bersifat normatif (law in book). Pendekatan dilakukan melalui pengkajian terhadap asas-asas atau norma-norma terkait objek penelitian yang terdapat dalam berbagai bahan hukum. Berikutnya dilakukan case study  yakni peneliti berusaha menggambarkan mengenai peranan kebijakan penanaman modal dalam pengembangan penananaman modal dalam bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kebijakan penanaman modal di bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat dan untuk mengetahui peranan kebijakan-kebijakan tersebut dalam pengembangan penanaman modal di bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat.
 PEMBAHASAN
A.     Bentuk kebijakan Penanaman modal di bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat
            Berikut akan diuraikan kebijakan-kebijakan terkait penanaman modal asing dalam bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat.
1.      Peraturan Daerah (Perda)
            Usaha perhotelan di Kabupaten Lombok Barat diatur dalam bentuk Peraturan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009, Pasal 9 Ayat (3) yang menyatakan bahwa “rencana induk kepariwisataan Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota”.
            Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak terdapat satupun kebijakan baik berupa Peraturan Daerah, Peraturan Bupati maupun Peraturan Badan Penanaman modal yang khusus mengatur mengenai Penanaman modal di bidang perhotelan, meskipun kontribusi usaha perhotelan bagi Pendapatan Asli Daerah sangat besar sebagaimana diakui oleh Lalu Ardipati selaku Kepala Bagian Penanaman modal Kabupaten Lombok Barat.  sehingga kebijakan terkait perhotelan tersebar dalam berbagai bentuk kebijakan, diatur bersama dengan bentuk-bentuk usaha jasa pariwisata lainnya.
            Sejak awal pembentukannya hingga akhir tahun 2011 Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat hanya melahirkan satu Peraturan Daerah di bidang kepariwisataan yakni Perda Nomor 12 tahun 2002 Tentang Usaha Pariwisata. Terkait dengan usaha perhotelan Perda ini memuat tentang definisi hotel, bentuk usaha dan permodalan, kewajiban dan larangan pengusaha, perizinan, ketenagakerjaan dan masalah retribusi.
a.      Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Kepariwisataan
Mengenai definisi hotel, Pasal 1 Perda ini memberikan pengertian sebagai berikut “hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. 
Khusus mengenai hotel yang bentuknya Penanaman modal asing dimana modalnya merupakan patungan antara warga negara Republik Indonesia dengan Warga negara asing bentuk usahanya harus berbentuk Perseroan Terbatas. Hal ini sudah sesuai dengan yang diatur oleh Undang-undang Penanaman modal Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa “Penanaman modal Asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang”. Meskipun tidak diatur dalam Perda ini namun Undang-undang Penanaman modal menggariskan bahwa bagi penanam modal dalam Negeri maupun asing yang melakukan penanaman modalnya dalam bentuk perseroan terbatas dapat dilakukan dengan cara (a) mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas (b) membeli saham (c) melakukan cara lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan ini perlu diperjelas lagi dalam Perda yang bersangkutan karena dewasa ini penanaman modal di bidang perhotelan didominasi oleh asing sehingga mereka mendapatkan informasi yang konferhensif mengenai penanaman modal dalam satu Perda.
Dalam Pasal 5 Perda Nomor 12 Tahun 2002 ini disebutkan bahwa:
(1) Hotel terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu dengan tanda bintang dan hotel dengan dengan tanda bunga melati:
a.       Hotel dengan tanda bintang sangat ditentukan oleh tingkat pelayanan, kelengkapan dan kondisi bangunan serta persyaratan penggolongan hotel sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b.      Hotel dengan tanda bunga melati adalah suatu usaha yang bersifat komersial dan tidak dibatasi pengunjungnya.
(2)         Hotel dengan tanda bintang 1 (satu)\dan 2 (dua) bentuk badan usahanya dapat berupa perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), Firma (FA) atau Koperasi.
(3)         Hotel yang digolongkan dengan tanda bintang 3 (tiga), 4 (empat) dan 5 (lima) bentuk badan usahanya harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
(4)         Hotel dengan tanda bunga melati dapat berbentuk badan usaha, Koperasi dan atau perseorangan.


            Ketentuan Pasal 5 perda ini telah sesuai dengan yang diatur oleh Keputusan Menteri Kebudayaan dan pariwisata Nomor: KM.3/ HK.001/ MKP.02 tentang penggolongan Kelas hotel. Sedangkan ketentuan ayat (2) dan ayat (5) yang memungkinkan bentuk usaha selain PT bagi hotel bintang 1 dan 2 serta bagi hotel melati harus dikesampingkan dalam hal di dalam hotel tersebut terdapat modal asing karena Peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Penanaman modal telah mengatur bahwa Penanaman modal Asing harus berbentuk badan usaha Perseroan Terbatas.
            Selanjutnya dalam Pasal 6 diatur mengenai kewajiban dan larangan bagi penyelenggara usaha pariwisata. Berdasarkan Pasal 6 Perda ini, kewajiban para penyelenggara usaha pariwisata adalah:
a.       Mengadakan pembukuan perusahaan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Mentaati Peraturan perizinan usaha kepariwisataan dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
c.       Mentaati perjanjian kerja serta menjamin keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan karyawan;
d.      Meningkatkan mutu penyelenggaraan usaha;
e.       Memelihara kebersihan dan keindahan lokasi serta kelestarian lingkungan usaha;
f.        Menjamin keselamatan dan kenyamanan pengunjung serta mencegah timbulnya bahaya kebakaran;
g.       Mencegah penggunaan tempat usaha untuk kegiatan peredaran dan pemakaian obat-obat terlarang serta barang terlarang;
h.       Mencegah setiap orang untuk melakukan perjudian dan perbuatan yang melanggar kesusilaan;
i.         Memberi kesempatan kepada karyawan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing;
j.        Menggunakan bahasa Indonesia untuk nama usaha dan kegiatan usaha;

            Sedangkan larangan bagi para pengusaha jasa pariwisata adalah sebagai berikut:
a.       memakai tenaga kerja dibawah umur dan tenaga kerja asing tanpa izin sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
b.      menerima pengunjung di bawah umur (untuk jenis usaha tertentu)
            Ketentuan Pasal 6 diatas sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 15 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal yang menyatakan bahwa setiap Penanam Modal berkewajiban untuk:
a.       Menerapkan tata kelola perusahaan yang baik;
b.      Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c.       Membuat laporan tentang kegiatan Penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman modal;
d.      Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha Penanaman modal; dan
e.       Mematuhi semua Peraturan Peundang-undangan.

            Berikutnya, mengenai perizinan, Perda ini membagi dua masalah perizinan yaitu izin prinsip dan izin operasional usaha pariwisata. Bagi usaha perhotelan tidak perlu mengurus izin prinsip terlebih dahulu, yang diperlukan hanya izin operasional dari Bupati/ pejabat yang ditunjuk, izin tersebut berlaku selama hotel yang bersangkutan masih beroperasi dan harus didaftar ulang setiap 3 (tiga) tahun sekali dimana izin tersebut tidak dapat dipindah tangankan kecuali dengan izin tertulis sari Bupati melalui Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya dan hotel yang dimaksud harus memenuhi ketentuan kelas penggolongan.
            Dalam hal retribusi, dipungut dari pemberian pelayanan ijin usaha perhotelan yang secara rinci adalah sebagai berikut:
1.      Hotel Bintang:
a.       Bintang 5
-         Izin baru  Rp. 250.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 125.000,- /Kamar
b.      Bintang  4
-         Izin baru Rp. 200.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 100.000,- / Kamar
c.       Bintang 3
-         Izin baru Rp. 150.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 75.000,- / Kamar
d.      Bintang 2
-         .Izin baru Rp. 100.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 50.000,- / Kamar
e.       Bintang 1
-         Izin baru Rp. 50.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 25.000,- / Kamar
2.      Hotel:
a. Melati 3
-         Izin baru Rp. 50.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 25.000,- / Kamar
b.      Melati 2
-         Izin baru Rp. 40.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 20.000,- / Kamar
c.       Melati 1
-         Izin baru Rp. 30.000,- / Kamar
-         Daftar ulang Rp. 15.000,-/ Kamar
-          
            Dalam Perda Kepariwisataan Kabupaten Lombok Barat ini diatur sanksi bagi pelanggar kewajiban-kewajiban tersebut diatas. Saknsi yang dimaksud tidak hanya berupa sanksi administratif namun juga sanksi pidana dengan ancaman hukuman penjara kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (Lima juta Rupiah). Ancaman sanksi ini lebih luas dari sanksi yang diancamkan oleh Undang-undang Penanaman modal yaitu Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007, di dalam Pasal 34 Undang-undang Penanaman modal tersebut disebutkan bahwa para pengusaha baik perseorangan maupun badan usaha baik domestik maupun asing yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang pada Pasal 15 diatas dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas Penanaman modal, pencabutan kegiatan usaha dan/ fasilitas Penanaman modal. Sanksi administratif tersebut akan diberikan oleh lembaga/instansi yang berwenang sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan selain ancaman sanksi administratif pengusaha hotel yang tidak taat aturan dapat dikenai sanksi dalam bentuk lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
            Berdasarkan hasil wawancara dengan Lalu Ardipati, Kepala Bagian Penanaman modal Lombok Barat pada hari kamis tanggal 8 Desember 2011 diungkapkan bahwa pelanggaran yang paling sering dilakukan oleh Para Penanam Modal adalah terkait dengan kewajiban pelaporan berkala yakni 6 (enam) bulan sekali bagi investasi yang belum berjalan dan setiap 4 (empat) bulan sekali bagi investasi yang sudah berjalan dan terhadap pelanggaran tersebut belum dapat dikenakan sanksi yang tegas karena kurangnya koordinasi antar instansi terkait yaitu Badan Penanaman modal Propinsi, Bagian Penanaman modal kabupaten Lombok Barat, Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat dan Badan Pelayanan perizinan terpadu Kabupaten Lombok Barat.
b. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 12 Tahun 2009   Tentang Penanaman modal
            Peraturan Daerah ini terdiri 11 Bab, dan 15 Pasal dimana di dalamnya termuat kebijakan daerah dibidang Penanaman modal, hak dan kewajiban Penanam Modal, tugas dan wewenang, tata cara Penanaman modal, kerjasama kemitraan penanaman modal, peningkatan nilai investasi, pembinaan, pengawasan dan pengendalian dan saksi administratif.
            Kebijakan Daerah di bidang penanaman modal diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa kebijakan pengembangan Penanaman modal mengacu kepada rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang yang meliputi peta penanaman modal, bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup, terbuka dengan persyaratan, dan bidang usaha yang mendapat prioritas tinggi.
            Hak dan kewajiban para Penanam modal baik asing maupun domestik diatur dalam Pasal 3 dan 4 yang mana hak-hak penanam modal sama dengan yang diatur dalam Pasal 14 UUPM sedangkan kewajibannya, dirinci sebagai berikut:
a.       merealisasikan kegiatan perusahaan di daerah sesuai dengan surat persetujuan Penanaman modal yang dikeluarkan oleh BKPM;
b.      Menerapkan prinsip tatakelola perusahaan yang baik;
c.       Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
d.      Membuat laporan tentang kegiatan Penanaman modal (LKPM) dan menyampaikan kepada Bupati melalui kepala IPMK yang terkait;
e.       Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi tempat usaha Penanaman modal;
f.        Mengutamakan tenaga kerja daerah yang sesuai dan memadai serta memenuhi syarat kompetensi yang ditetapkan;
g.       Mematuhi semua ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
h.       Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan;
i.         Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika Penanam Modal menghentikan atau meninggalkan menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
j.        Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
k.      Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kesejahteraan pekerja; dan
l.         Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli dan hal lain yang merugikan Negara.

            Pasal ini sesungguhnya merupakan gabungan dari isi Pasal 15 dan 16 UUPM yang mengatur kewajiban tanggung jawab Penanam Modal.
            Hal lain terkait Penanaman modal di bidang perhotelan yang perlu diketahui adalah terkait tata cara Penanaman modal yang dalam Perda ini diatur dalam Pasal 7 yakni:
(1)   HPenanam Modal yang akan melakukan Penanaman Modla wajib mempelajari dan memahami lebih dahulu rencana umum dan rencana strategis Penanaman modal daerah
(2)   Setelah mengadakan penelitian mengenai bidang usaha yang diminati Penanam Modal mengajukan permohonan persetujuan Penanaman modal secara tertulis kepada BKPM
(3)   Penanaman modal yang sudah mendapatkan surat persetujuan Penanaman modal dari BKPM wajib menyampaikan tembusannya kepada Bupati
(4)   Bupati memberikan persetujuan atau rekomendasi terhadap permohonan Penanaman modal yang telah memperoleh Surat Persetujuan Penanaman modal dari BKPM.
           
            Selanjutnya Penanam Modal harus mengurus segala perrijinan yang diperlukan yaitu meliputi ijin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), hak atas tanah atau sertifikat tanah, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), ijin gangguan (HO), dokumen lingkungan berupa  (Amdal/ UKL-UPL) dan ijin-ijin lainnya yang diperlukan. Ijin-ijin tersebut diperoleh melalui Badan Pelayanan Terpadu yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati.
            Terpisahnya Badan yang bertugas melakukan pembinaan, promosi dan koordinasi yaitu Bagian Penanaman modal Kabupaten Lombok Barat dengan Badan yang mengeluarkan perizinan yaitu Badan Pelayanan perizinan Terpadu Kabupaten Lombok Barat menimbulkan kesulitan tersendiri dalam hal pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan pengendalian karena sebelum mulai beroperasi para penanam modal berurusan dengan badan perizinan namun setelah beroperasi mereka harus menyampaikan laporan kepada bagian penanaman modal hal ini mengakibatkan kesimpangsiuran data padahal untuk dapat terlaksananya pembinaan, pengawasan dan  pengendalian yang efektif serta efisien diperlukan kesinkronan data antar instansi yang terkait yaitu bagian penanaman modal, Badan Pelayanan Terpadu dan Dinas Pariwisata.
            Mekanisme sinkronisasi data ketiga instansi tersebut selama ini adalah melalui rapat koordinasi untuk merencanakan teknis pengawasan, pembinaan maupun pengendalian terhadap kegiatan penanaman modal dan atau turun bersama-sama kelapangan melakukan pengecekan terhadap perizinan maupun validitas data yang disampaikan dalam laporan tertulisnya. Laporan tertulis yang wajib dilakukan adalah 2 (dua) kali dalam setahun bagi Penanam modal yang belum beroperasi dan 4 (empat) kali setahun bagi perusahaan yang sudah beroperasi. Sedangkan mengenai bentuk pengawasan, pembinaan maupun pengendalian bagi PMA maupun PMDN tidaklah berbeda, hal ini sesuai dengan asas non diskriminasi yang di anut oleh rezim Penanaman modal Indonesia.
            Kesulitan lainnya di bidang perhotelan adalah belum tersedianya Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) sehingga belum ada acuan dalam pemberian izin maupun pembinaan dan pengawasan Penanaman modal di bidang perhotelan karena belum jelasnya daerah-daerah yang terbuka bagi investasi perhotelan meskipun pada kenyataannya usaha perhotelan saat ini terkonsentrasi pada wilayah Senggigi dan Sekotong.
            Terakhir mengenai sanksi, Perda ini sejalan dengan UUPM yang mengancamkan sanksi adminisratif bagi Penanam Modal yang tidak melaksanakan kewajibannya berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal serta usulan pencabutan hak-hak atas tanah kepada Badan Pertanahan Nasional baik berupa Hak Guna Bangunan maupun Hak Guna Usaha (HGU).
            Sanksi-sanksi diatas dapat dilaksanakan setelah diadakan pemeriksaan oleh tim yang dibentuk dengan keputusan Bupati dimana hasil pemeriksaan tim tersebut disampaikan kepada Bupati dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan  dan tata cara pengenaan sanksi tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati (Perbup).
            Hingga akhir tahun 2011 ini sedang dirancang Perda mengenai Penanaman modal untuk menyempurnakan perda tentang Penanaman modal yang sudah ada yaitu Perda Nomor 12 Tahun 2009.
       
2.  Keputusan Bupati
                  Dalam rangka memacu peningkatan pertumbuhan investasi di daerah, salah satu faktor pendukung yang penting adalah ketersediaan dan keterbukaan informasi. Oleh sebab itu maka melalui Peraturan Bupati Nomor 95/ 06/ PMD/ 2011 Tentang Pembentukan tim penyusuanan sistem informasi Penanaman modal daerah Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011. dalam diktum menimbang disebutkan:
a.        Bahwa dalam rangka memacu peningkatan pertumbuhan investasi di daerah maka perlu didukung dengan tersedianya sistem informasi investasi di daerah yang dapat diakses oleh calon investor sebagai bahan acuan dan pertimbangan untuk melakukan kegiatan investasi di berbagai bidang guna peningkatan peluang usaha, peningkatan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b.        Bahwa agar potensi sumber daya investasi daerah yang dimiliki dapat dikelola dan dimanfaatkan secara tepat guna dan berhasil guna maka perlu dibentuk tim penyusunan sistem informasi Penanaman modal Daerah.

                  Dengan dibentuknya tim tersebut diharapkan akan terbentuk pula sistem informasi Penanaman modal yang mampu memberikan informasi akurat, menyeluruh dan lengkap mengenai potensi dan kebijakan investasi. Khususnya dalam dunia usaha perhotelan karena tingkat hunian tidak saja sangat terkait dengan daerah dimana hotel itu berada seperti misalnya di wilayah Senggigi yang banyak dikunjungi oleh wisatawan asing maupun domestik namun di Senggigi juga terdapat konsentrasi hotel paling banyak dibandingkan di wilayah lain di Kabupaten Lombok Barat karena itu calon investor usaha perhotelan tidak saja perlu mengetahui potensi daerah yang kunjungan tamunya tinggi namun juga dari sisi jumlah pesaing yang ada di daerah yang sama. Disinilah diperlukan keterbukaan dan ketersediaan informasi tersebut agar calon investor terutama asing karena mereka sumber-sumber informasi bagi calon investor asing lebih terbatas dibandingkan dengan calon investor domestik. Hal ini dapat membantu para calon investor tersebut untuk membuat kalkulasi cost and benefit bagi investasi mereka.

3.  Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal
            Aturan-aturan tehnis dalam Peraturan Daerah diatas sesungguhnya mengacu kepada kebijakan yang dibuat oleh Badan Koordinasi Penanaman modal (BKPM). Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Penanaman modal yang menyatakan bahwa koordinasi pelaksanaan kebijakan Penanaman modal dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman modal. Berikut adalah Peraturan-peraturan yang dimaksud:
a.       Peraturan BKPM No.11 Tahun 2009, Tanggal 23 Desember 2009 Tentang tata cara Pelaksanaan pembinaan dan pelaporan pelayanan terpadu satu pintu di bidang Penanaman modal;
b.      Peraturan BKPM No. 12 Tahun 2009, Tanggal 23 Desember 2009 Tentang pedoman dan tata cara permohonan Penanaman modal;
c.       Peraturan BKPM No. 13 Tahun 2009, Tanggal 23 Desember 2009 Tentang Pedoman dan tata cara ppengendalian pelaksanaan Penanaman modal
d.      Peraturan BKPM No. 14 Tahun 2009, Tanggal 23 Desember 2009 Tentang sistem pelayanan Informasi dan perizinan investasi secara elektronik.


B.     Peranan kebijakan-kebijakan lokal pengembangan Penanaman modal asing di bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat.
            Setelah menguraikan mengenai bentuk-bentuk kebijakan Penanaman modal di Kabupaten Lombok Barat, pada bagian ini akan diuraikan peranan kebijakan-kebijakan tersebut dalam pengembangan usaha perhotelan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dari tahun ke tahun Penanaman modal di bidang perhotelan mengalami peningkatan. Berikut akan disajikan perkembangan investasi perhotelan tersebut dari tahun 2007 hingga tahun 2010.

Jumlah hotel bintang dan hotel melati di Kabupaten Lombok Barat Tahun 2007
NO
KECAMATAN
HOTEL BERBINTANG
HOTEL MELATI
JML
BI
BBI
KMR
T.T
JML
BI
BBI
KMR
T.T
1.
Bayan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.
Kayangan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.
Gangga
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.
Tanjung
2
2
-
6
8
1
1
-
4
6
5.
Pemenang
-
-
-
-
-
2
1
1
25
38

a. Gili Trawangan
-
-
-
-
-
35
18
17
318
408

b. Gili Air
-
-
-
-
-
8
4
4
90
125

90\c. Gili Meno
-
-
-
-
-
13
3
10
123
141
6.
Gunungsari
-
-
-
-
-
1
1
-
6
6
7.
Batulayar
17
17
-
1.124
1.722
25
25
-
320
437
8.
Lingsar
-
-
-
-
-
4
3
1
37
37
9
Narmada
2
2
-
54
84
2
1
1
16
26
10
Kediri
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11.
Labuapi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
12.
Kuripan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13.
Gerung
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14.
Lembar
-
-
-
-
-
1
1
-
7
14
15.
Sekotong
1
-
1
60
120
7
5
2
72
82

Jumlah
22
21
1
1.244
1.934
99
63
36
1.018
1.320
Keterangan: BI (Berijin), BBI (Belum Berijin), T.T (Tempat Tidur)
Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat

            Dari data diatas dapat diketahui bahwa usaha perhotelan hanya terdapat pada 5 (Lima) Kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung, Pemenang, Batulayar, Narmada dan Sekotong dimana konsentrasi terbanyak jumlah hotel bintang terdapat pada Kecamatan Batulayar dengan jumlah kamar sebanyak  1.124, hotel melati pada kecamatan ini sejumlah 25 buah dengan 320 kamar. Sedangkan untuk hotel melati konsentrasi terbanyak terdapat di Kecamatan Pemenang yang tersebar di 3 (Gili) yaitu Gili Trawangan,Gili Meno, Gili Air yaitu sebanyak 58 hotel melati dengan 546 kamar yang tersedia dimana pada Kecamatan ini tidak terdapat hotel berbintang. Kecenderungan para investor ini untuk mematuhi ketentuan perijinan belum menyeluruh terlihat dari besarnya jumlah hotel terutama kelas melati yang tidak berijin.

Rekapitulasi data hotel bintang Kabupaten Lombok Barat Tahun 2008
NO
KECAMATAN
BERIJIN
TIDAK BERIJIN
UNIT
KMR
TT
TK
UNIT
KMR
TT
TK
 1.
Bayan
-
-
-
-
-
-
-
-
 2.
Kayanngan
-
-
-
-
-
-
-
-
 3.
Gangga
-
-
-
-
-
-
-
-
 4.
Tanjung
3
81
108
202
-
-
-
-
 5.
Pemenang









-  Gili Trawangan
-
-
-
-
-
-
-
-

- Gili Air
-
-
-
-
-
-
-
-

- Gili Meno
-
-
-
-
-
-
-
-
6.
Gunungsari
-
-
-
-
-
-
-
-
7.
Batulayar
18
1.100
1.613
1362
-
-
-
-
8.
Lingsar
1
7
7
14
-
-
-
-
9.
Narmada
2
54
84
157




10.
Kediri
-
-
-
-
-
-
-
-
11.
Labuapi
-
-
-
-
-
-
-
-
12.
Kuripan
-
-
-
-
-
-
-
-
13.
Gerung








14.
Lembar
-
-
-
-
-
-
-
-
15.
Sekotong
-
-
-
-
1
60
120
60

JUMLAH
24
1.242
1
812
1
60
120
60

Ket: BI (Berijin), BBI (Belum Berijin),  T.T (Tempat Tidur)
Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat

Rekapitulasi data hotel melati Kabupaten Lombok Barat Tahun 2008
No
KECAMATAN  
BERIJIN
BELUM BERIJIN
JUMLAH
UNIT
KMR
TT
TK
UNIT
KMR
TT
TK
UNIT
KMR
TT
TK
1.
Bayan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2.
Kayangan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.
Gangga

-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.
Tanjung
1
4
6
12
-
-
-
-
1
4
6
12
5.
Pemenang
1
13
26
10
1
12
12
12
2
25
38
22

a. Gili trawangan
25
272
350
267
16
127
180
42
41
399
530
309

b. Gili Air
5
98
133
56
3
21
21
2
8
119
154
58

c. Gili Meno
3
29
36
14
10
94
105
36
13
123
141
50
6.
Gunungsari
1
6
6
8
-
-
-
-
1
6
6
8
7.
Batulayar
26
320
437
205
-
-
-
-
26
320
437
205
8.
Lingsar
3
23
23
16
-
-
--
-
3
23
23
16
9.
Narmada
1
10
20
8
1
6
6
4
2
16
26
12
10.
Kediri
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11.
Labuapi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
12.
Kuripasm
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13.
Gerung
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14.
Lembar
1
7
14
3
-
-
-
-
1
7
14
3
15.
Sekotong
5
56
66
35
2
16
16
6
7
72
82
41

JUMLAH
72
838
1.117
634
33
276
340
102
105
1.114
1.457
736
Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat.
                  Dari data diatas dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan yang cukup berarti dalam realisasi Penanaman modal di bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat, menarik untuk mencermati peningkatan tersebut bahwasanya pada Tahun 2007 jumlah hotel berbintang sebanyak 22 buah sedangkan hotel melati sebanyak 99 unit sedangkan pada tahun 2008 jumlah hotel berbintang meningkat menjadi 25 unit, hotel melati meningkat menjadi 105 unit.
                  Berdasarkan data ini pula nampak korelasi kuat antara kepastian hukum dengan minat berinvestasi karena sejak diundangkan pada Tahun 2007 Undang-Undang Penanaman modal tidak saja memberlakukan asas Non diskriminasi terhadap investor Dalam Negeri maupun investor asing namun juga memberikan insentif-insentif dan kemudahan bagi para investor baik di bidang perpajakan maupun perizinan terutama dengan dibentuknya sistem pelayanan terpadu satu pintu di bawah Koordinasi Badan Koordinasi Penanaman modal (BKPM) masing-masing daerah. Di sisi lain tingkat pelanggaran terhadap kewajiban perijinan masih tinggi. Di kelas hotel berbintang jumlah hotel yang belum mengantongi ijin sebanyak 1 unit sedangkan di kelas hotel melati terdapat 33 unit hotel yang belum mengantongi ijin. Hal ini menandakan bahwa ketentuan maupun aparat terkait penegakan masalah perijinan di Kabupaten Lombok Barat belum cukup baik. Bahkan Perda Kabupaten Lombok Barat yang mengatur tentang Penanaman modal baru diundangkan pada Tahun 2009 sehingga belum ada peraturan pelaksana dari sanksi yang diancamkan oleh UUPM.
                  Oleh sebab itu menarik untuk mencermati perkembangan investasi perhotelan pada tahun 2009 karena pada tahun ini dibentuk bagian penanaman modal Kabupaten serta terjadinya pemekaran wilayah yang secara langsung juga turut mengurangi wilayah potensial untuk investasi perhotelan dan diundangkannya Perda Kabupaten tentang penanaman modal sebagaimana ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
Data rekapitulasi usaha jasa perhotelan di Kabupaten Lombok Barat Tahun 2009
No
KECAMATAN
HOTEL BERBINTANG
HOTEL MELATI
JML
BI
BBI
KMR
T.T
JML
BI
BBI
KMR
T.T
1.
Gunungsari
-
-
-
-
-
1
1
-
6
6
2.
Batulayar
18
18
-
1.100
1.613
27
27
-
320
437
3.
Lingsar
1
1
-
7
7
3
3
-
23
23
4.
Narmada
2
2
-
54
84
2
1
1
16
26
5.
Kediri
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6.
Labuapi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7.
Kuripan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8.
Gerung
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.
Lembar
-
-
-
-
-
1
1
-
7
14
10.
Sekotong
1
-
1
60
120
9
5
4
72
82

JUMLAH
22
21
1
1.221
1.824
43
38
5
444
588
Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat
                  Berdasarkan data diatas terlihat bahwa tidak ada kemajuan signifan realisasi penanaman modal di bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2009. Namun menurut data yang terdapat dalam buku Nusa Tenggara Barat dalam angka, di bidang perhotelan selama tahun 2009 terdapat rencana investasi Penanaman modal Asing sebanyak 19 proyek dengan nilai investasi sebesar 6.213 U$ dan kesemuanya terealisasi pada tahun yang sama, sementara Penanaman modal Dalam Negeri tidak ada realisasi investasi. Tampak bahwa kebijakan-kebijakan lokal seperti Perda Tentang Penanaman modal memberi kepastian hukum yang lebih baik bagi para calon investor asing karena di dalamnya memuat aturan yang lebih konferhensif tentang kebijakan investasi disertai dengan insentif berupa kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan oleh para investor. Di sisi lain masih terdapat pelanggaran perizinan dari para investor tersebut baik oleh investor hotel berbintang (sebanyak 1 unit) dan hotel melati (sebanyak 4 unit) meski pada tahun 2009 ini dibentuk Badan Pelayanan Perizinan terpadu yang khusus menangani masalah perizinan namun selain tidak efektif untuk menertibkan masalah perizinan juga menimbulkan kesulitan bagi Badan Penanaman modal Kabupaten Lombok Barat untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaannya karena untuk memperoleh data usaha perhotelan yang sudah berijin dan belum berijin mereka harus meminta data dari Badan perizinan tersebut sehingga mereka tidak leluasa untuk mengakses data tersebut, berbeda jika masalah perizinan, pengawasan dan pembinaan Penanaman modal terintegrasi pada satu Instansi saja yaitu Bagian Penanaman modal Kabupaten. Untuk melengkapi gambaran mengenai peranan Kebijakan di bidang Penanaman modal dalam pengembangan Penanaman modal di Kabupaten Lombok Barat berikut akan disajikan data Penanaman modal tahun 2010 sebagai berikut: 

Data rekapitulasi Usaha Jasa Perhotelan Kabupaten Lombok Barat tahun 2010
NO
JENIS USAHA
JUMLAH
IZIN USAHA
IZIN BELUM
UNIT
KMR
T.T
SUDAH
BELUM
LOKASI
IMB
HO
1.
Hotel berbintang
22
1.279
1.957
21
1
-
-
-

a. Lima
3
264
394
2
1
-
-
-

b. Empat
4
645
1.044
4
-
-
-
-

c. Tiga
1
49
78
1
-
-
-
-

d. Dua
4
137
226
4
-
-
-
-

e. Satu
10
184
215
10
-
-
-
-
2.
Hotel Melati
53
484
582
47
6
29
32
33

TOTAL
75
1.831
2.612
68
7
29
32
33
Keterangan: KMR (Kamar), TT (Tempat Tidur)
Sumber: Dinas Pariwisata Lombok Barat

                  Pada data tahun 2010 ini nampak bahwa realisasi rencana Penanaman modal di bidang perhotelan yang sudah berjalan sejak tahun sebelumnya belum seluruhnya beroperasi karena pada kelas hotel berbintang tidak terdapat penambahan hotel sedangkan pada kelas hotel melati terdapat penambahan sebanyak 10 unit hotel, dari 43 unit tahun sebelumnya menjadi 53 unit pada Tahun 2010 yang mana kesemuanya berbentuk PMA.
                  Berikutnya, untuk tahun 2011 diperoleh data PMA baru bidang usaha perhotelan di Kabupaten Lombok Barat dari Badan Penanaman modal (BPM) Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk kurun waktu triwulan ke III, sebagai berikut:
No
NAMA PERUSAHAAN
BID. USAHA
TAHAPAN
INVESTASI
ASAL NEG
PEMBANGUNAN
IZIN USAHA
RENCANA U$
REALISASI
U$
1.
PT HIJAU DELTA LOMBOK (GIEC)
PT.GREEN ENTERPRISE INDO C (GIEC
Hotel dan lapanga golf.


ü         



14.000.000


5.110.000

2.
PT ANASIA NUSA TENGGARA TANGKONG
Hotel
ü         

1.550.000
1.470.000

3.
PT. LOMBOK KARANG LAUT LESTARI
Hotel dan Restoran
ü         

2.028.000
46.000

4.
PT. WINDY BEACH
Perhotelan

ü         
2.510.000
1.000.000

5.
PT.SEGARA VILLAS
Perhotelan
ü         

55.000


6.
PT. RAJAWALI ADI MANDALIKA (Hotel Sheraton)
Perhotelan
ü         

8.005.000


7.
PT. AMBIANCE
Hotel
ü         

700.000
300.000
India
8.
PT GILLYALI
Hotel
ü         

4.000.000
-
Italia
9.
PT. BUKIT INDAH WISATA TIRTA
Hote
ü         

1.000.000
263.000
Gabungan
10.
PT. GRACE PACIFIK INDONESIA
Hotel
ü         

1.300.000
-

11.
PT DISCOVER SCUBA MASTER
Hotel
ü         

400.000
-

12.
PT RESOSARAYAN MANDIRI LOMBOK
Hotel, rekreasi, lapangan golf
-
-
6.7775.000
-

13.
PT. DWI SAKA SENTOSA
Perhotelan
-
-
1.250.000
-
-
14.







Sumber: BPM Provinsi NTB
Ket: warna merah merupakan tanda bagi perusahaan yang tidak melaksanakan realisasi.
                  Berdasarkan data-data diatas dapat diketahui bahwa minat berinvestasi dalam bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dimana untuk tahun 2011, berdasarkan data Badan Penanaman modal hingga triwulan ke III tahun 2011 rencana investasi mencapai jumlah U$ 43. 573.000 sedangkan realisasinya sebesar U$ 8.189.000 yang keseluruhannya merupakan Investasi asing. Dari angka diatas memang masih terlihat perbedaan mencolok antara rencana dengan realisasi investasi, hal ini menandakan bahwa para investor tersebut masih bersikap wait and see terhadap pembenahan kebijakan investasi dan infrastruktur di bidang kepariwisataan karena perangkat hukum Penanaman modal di Kabupaten belum memenuhi standar yang diharapkan oleh para investor yaitu kecepatan, ketepatan dan efisiensi biaya. Salah satu masalah yang perlu segera dibenahi adalah masalah pengurusan ijin yang semestinya satu pintu agar para investor mudah mengakses informasi dan menyederhanakan birokrasi Penanaman modal.

III. SIMPULAN
1.            Di Kabupaten Lombok Barat telah lahir bebrapa kebijakan terkait Penanaman modal di bidang perhotelan seperti Peraturan Daerah khususnya Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Kepariwisataan, didalamnya termuat beberapa Pasal yang khusus mengenai usaha perhotelan seperti Pasal 5 mengenai jenis hotel, Pasal 6 mengenai kewajiban dan larangan bagi penyelenggara usaha pariwisata, serta Pasal tertentu yang mengatur mengenai retribusi dan perjinan usaha perhotelan. Di samping itu terdapat Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 95/ 06/ PMD/ 2011 Tentang Pembentukan tim penyusunan sistem informasi Penanaman modal Daerah Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011 yang bertujuan untuk menyediakan informasi yang mudah diaksesmengenai Penanaman modal bagi pihak-pihak terkait yang pada akhirnya dapat menarik minat untuk berinvestasi di Kabupaten Lombok Barat. Selain mengacu kepada UUPM secara tehnis kebijakan-kebijakan daerah diatas mengacu kepada peraturan-peraturan di bidang Penanaman modal yang dibuat oleh Badan Koordinasi Penanaman modal (BKPM)
2.            Secara Kuantitas Penanaman modal di bidang perhotelan di Kabupaten Lombok Barat mengalami peningkatan dari Tahun 2007 hingga 2011, terutama didorong oleh kehadiran Investasi asing meskipun secara ketertiban perijinan belum membawa pengaruh besar karena masih tingginya prosentase hotel yang belum berijin terutaman hotel jenis melati. Hal ini dikarenakan belum ada koordinasi yang baik antar instansi terkait seperti BKPM, Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat dan Bagian Penanaman modal Kabupaten Lombok Barat dalam hal pengawasan dan monitoring sehingga melahiran sanksi yang tidak tegas bagi pelanggar ketentuan tersebut.















DAFTAR PUSTAKA
Buku, Makalah dan artikel
Margono, Sujud, Hukum Investasi Asing Indonesia, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2008.
Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2007
Sihombing, Jonker Hukum Penanaman modal di Indonesia, Alumni, Bandung, 2009
Simatupang, Violetta, Pengaturan hukum keperiwisataan Indonesia, Alumni, Bandung, 2009
Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman modal, Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pasca Sarjana, 2005.
Sumantoro, Hukum Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1986
Sutrisno, Budi, UUPMA dan upaya-upaya Pemerintah untuk mengutamakan kepentingan Nasional dalam penanaman modal asing, dalam Jatiswara, Fakultas Hukum, Universitas Mataram, Edisi 1 1996
Sutrisno, Budi, HS Salim, Hukum Investasi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2008

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal
Indonesia, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 Tentang pemilikan modal asing
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 Tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal.
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Kepariwisataan.
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Penanaman modal